Kisi kisi Teologia PL
5. HUKUM KEAGAMAAN DI ISRAEL
Pada suatu waktu dalam periode ini ada
seorang pemimpin lain yang datang ke Yerusalem. Pemimpin itu bernama Ezra. Ia
tiba di Yerusalem dengan membawa suatu Kitab Hukum Taurat dari Babilonia yang
kemudian menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Yehuda. Para ahli bingung untuk
menempatkan masa tibanya Ezra tersebut dalam kerangka kejadian-kejadian di masa
itu. Orang-orang yang mengumpulkan laporan-laporan yang kemudian dibukukan
menjadi kitab Ezra dan Nehemia nampak berpendapat bahwa Ezra tiba lebih dahulu
dari Nehemia. Akan tetapi banyak ahli yang setuju bahwa Ezra tiba kemudian
setelah Nehemia.
Bukti-bukti dalam Alkitab sendiri tidak jelas
mengenai hal ini. Mungkin para penyusun kitab Ezra dan Nehemia bingung karena
disebutnya nama Arthaxerxes dalam laporan-laporan yang mereka gunakan sebagai
sumber (Ezr 7: 1, 6-10). Mereka mungkin menyangka bahwa raja Arthaxerxes ini
adalah raja Arthaxerxes I sehingga mereka menempatkan Ezra sebelum Nehemia.
Akan tetapi kami berpendapat bahwa Ezra tiba di Yerusalem kemudian sesudah
Nehemia. Jadi dapat disimpulkan bahwa Ezra tiba di Yerusalem sekitar tahun 397
SM, yakni pada tahun ketujuh dalam pemerintahan raja Arthaxerxes II.
Ezra lebih merupakan seorang pemimpin
keagamaan daripada seorang pemimpin politik. Ia ditunjuk oleh raja Arthaxerxes,
seperti yang dilaporkan dalam Ezra 7: 12-26. John Bright menyebut dia sebagai
seorang "Menteri Negara Urusan Masalah-masalah Yahudi". Raja
Arthaxerxes memerintahkan kepada Ezra untuk mengajarkan ”hukum Allahmu yang
menjadi peganganmu" (Ezr 7: 14) dan untuk menghukum orang-orang Yahudi
yang tidak taat, mungkin termasuk juga orang—orang Yahudi yang hidup di luar
Yehuda (Ezr 7: 25 dyb). Jadi rupanya raja Persia memberikan wewenang yang besar
kepada Ezra (Ezr 7:26).
Nehemia 8: 1-3 melaporkan mengenai peristiwa
pembacan hukum Taurat untuk pertama kalinya di depan umum. Hukum Taurat pada
saat itu harus diterjemahkan dari bahasa Ibrani ke bahasa Aram yang menjadi
bahasa pergaulan pada masa itu baik di Yehuda maupun di seluruh kemaharajaan
Persia (Neh 8: 8). Sedangkan Nehemia 8: 13-18 menceritakan bagaimana penduduk
Yehuda menyelenggarakan pesta Pondok-pondok daun untuk merayakan dan
memperingati pembacaan hukum Taurat itu.
Kita tidak mengetahui sceara tepat bagian
manakah dari Kitab Hukum Taurat yang telah dibaca oleh Ezra. Akan tetapi
orang-orang Yahudi di kemudian hari menyebut kelima kitab yang pertama dari
Perjanjian Lama dengan sebutan "Taurat". Mungkin sekali kelima kitab
itulah yang telah dibaca oleh Ezra. Kitab-kitab itu sendiri barulah diakui
secara pasti sebagai Kitab Suci kurang lebih lima puluh tahun kemudian. Pada
waktu itu orang—orang yang tidak pernah ikut mengalami pembuangan tidak diakui
sebagai orang-orang Yahudi yang benar. Mereka memisahkan diri dari persekutuan
keagamaan umat Israel yang resmi, lalu membentukkan suatu paguyuban agamawi
yang baru disebut "orang-orang Samaria". bukan Yahudi.
1.
Kitab Hukum dan Pejabat Agama di Israel.
Dalam banyak hal pekerjaan Ezra adalah hasil
dari Pembuangan. Di Babilonia orang-orang Israel berusaha untuk memelihara
kehidupan agamawi mereka. Mereka masih terus mempraktekkan beberapa kebiasaan
lama dari para leluhur, misalnya tradisi Sabat dan sunat. Kebiasaan-kebiasaan
tua lainnya mereka simpan dalam ingatan dan baru dipraktekkan kemudian ketika
mereka telah berada kembali di Yerusalem, serta memulai kehidupan di sana
sediakala. Memang ketika Bait Allah belum dibangun kembali banyak perayaan
agamawi yang tidak dapat dilaksanakan. Akan tetapi Imam-imam yang berada di
dalam pembuangan telah menulis segala kebiasaan agamawi yang harus dilakukan.
Ezra kemudian membawa kitab Taurat ke Yerusalem untuk menata kembali kehidupan
dari persekutuan baru di sekitar Bait Allah yang baru. Hukum Taurat itu ternyata
juga merupakan suatu pedoman bagi kehidupan agamawi banyak orang Yahudi yang
masih berdiam di negeri-negeri asing, misalnya di Mesir dan Babilonia.
Kehidupan agamawi di Yehuda pada masa itu
merupakan suatu campuran dari berbagai kebiasaan dengan pelaksanaannya yang
sudah lazim di masa-masa sebelumnya. Beberapa dari antaranya telah berubah atau
mengalami penyesuaian karena lingkungan yang berubah. Misalnya selama
Pembuangan tidak terdapat lagi raja-raja yang bertindak sebagai wakil Allah.
Dalam keadaan tanpa raja itu bangsa Yehuda berharap bahwa pada suatu kali kelak
Allah sendiri akan memilih dan melantik seorang raja yang baru, yang melebihi
raja-raja yang dikenal mereka. Akan tetapi hal itu mereka harapkan terjadi di
masa depan yang masih jauh dan bukan sebagai hal yang akan segera terjadi.
Banyak dari antara kebiasaan-kebiasaan
tersebut bersama praktek-prakteknya, yang sudah kita pelajari pada pasal-pasal
sebelumnya, kini dihidupkan kembali di Yehuda. Para penulis yang telah
menyalin kebiasaan-kebiasaan peribadahan
serta pandangan-pandangan keagamaan yang melatarbelakangi, juga menyalin
ingatan-ingatan orang-orang Israel yang dipelihara dari masa ke masa. Ini tidak
berarti bahwa segala macam kebiasaan tersebut harus benar-benar tepat ketika
kebiasaan-kebiasaan itu ditetapkan dahulu, atau tidak berarti bentuknya harus
sesuai dengan bentuknya yang semula. Laporan-laporan yang amat rinci mengenai
hal-hal ini berasal dari periode terakhir, sejauh hal itu dapat diingat
kembali.
2.
Pemimpin-pemimpin Agama
Para pemimpin dari komunitas baru di
Yerusalem itu adalah para Imam (Mis. Ezr 3: 2,10), yang dikepalai seorang Imam
Besar (Neh 13: 28). Jabatan Imam Besar itu baru ditetapkan setelah Pembuangan.
Ada juga kelompok Lewi, yakni golongan pekerja rendahan (pembantu) di dalam
Bait Allah (mis. Neh 8: 7; 10: 8 dyb).
Tugas mereka adalah menjaga agar seluruh
kehidupan peribadahan di Bait Allah, yakni ibadah-ibadah korban, dilaksanakan
dengan baik dan sebagaimana mestinya (Ezr 3: 3, 6). Menurut ketentuan
korban-korban pendamaian dipersembahkan sebagai pernyataan rasa syukur dan
sukacita pada kesempatan-kesempatan
tertentu (Neh 12: 43). Di antara jenis-jenis korban dalam agama Israel itu ada
dua jenis korban yang penting yakni korban penghapus dosa dan korban penebus salah
(Im 4 dan 5). Keduanya merupakan jenis korban yang baru, sekalipun ada
ahli-ahli yang beranggapan bahwa keduanya sudah dikenal dan dipraktekkan sejak
zaman raja-raja yang pertama. Yang jelas kedua jenis korban ini mempunyai
hubungan dengan pandangan bahwa ketidaktaatan seseorang kepada Allah dapat
melibatkan seluruh bangsa ke dalam dosa, atau dengan perkataan lain dosa
seseorang dapat menjadi dosa secara "nasional". Sekalipun kalau
pelanggaran-pelanggaran dilakukan "dengan tidak sengaja" terhadap
perintah-perintah TUHAN (Im 4: 2-3), sebagaimana yang telah terjadi pada masa
pembuangan. Rupanya orang-orang Yahudi itu membutuhkan suatu era untuk dapat
mengungkapkan penyesalan atas kesalahan tersebut yang telah dilakukan oleh
seluruh bangsanya.
3.
Perayaan-perayan Keagamaan
Ada tiga perayaan atau pesta keagamaan yang
selalu dirayakan pada masa sebelum Pembuangan, kini dirayakan kembali setelah
orang-orang Yahudi kembali ke Yerusalem dari Pembuangan. Ketiga perayaan itu
adalah perayaan Paskah, perayaan Pentakosta, dan perayaan Pondok-pondok Daun
(Ezr 6: 19 dyb; Neh 10: 35; Neh 8: 13-18). Ketiga perayaan ini berlangsung pada
masa perziarahan ke Yerusalem, yakni ketika orang-orang Yehuda yang berdiam di
luar Yerusalem mengunjungi Yerusalem untuk beribadah.
Ada satu perayaan baru yang baru dimasukkan
ke dalam kalender Yahudi beberapa saat setelah mereka kembali dari Pembuangan,
yakni perayaan Hari Pendamaian (Im 23: 26-32). Karena di dalam kitab Ezra dan
Nehemia perayaan tersebut belum disebutkan sama sekali maka dapat disimpulkan
bahwa perayaan tersebut baru dilaksanakan sesudah zaman Ezra dan Nehemia.
Perincian mengenai perayaan ini dapat dibaca dalam Imamat 16.
Pada perayaan Hari Pendamaian Imam Besar di
samping mempersembahkan korban penebus salah baik bagi dirinya sendiri maupun
bagi umatnya, juga mengadakan "pendamaian bagi tempat kudus itu"
sendiri (Im 16: 3,5,16). Ada satu bagian dari tata acara perayaan ini yang
sebenarnya merupakan unsur yang agak aneh, yakni ketentuan mengenai dua ekor
kambing jantan: kambing yang pertama adalah untuk TUHAN dan yang kedua untuk
"Azazel". Azazel adalah nama yang digunakan untuk menyebut suatu roh
gurun atau juga untuk menyebut pemimpin dari malaikat-malaikat yang jahat.
Kambing jantan yang diperuntukkan bagi TUHAN adalah persembahan yang
sesungguhnya, yang layak untuk digunakan dalam peribadahan kepada•Nya.
Sedangkan kambing yang diberikan untuk Azazel, dihalau ke padang gurun dengan
membawa “segala kesalahan orang Israel dan segala pelanggaran mereka" (Im
16: 21).
Arti semula dan penting dari kambing jantan
yang diberikan kepada Azazel tidak diketahui lagi secara pasti, sekalipun
kebiasaan seperti itu masih terdapat di kalangan agama-agama suku tertentu
sekarang. Beberapa ahli memperkirakan bahwa kebiasaan tersebut adalah suatu
kebiasaan yang sangat kuno dan yang berasal dari masa ketika orang-orang Israel
masih percaya bahwa di samping TUHAN ada juga banyak dewa-dewi yang lain.
Padahal Deutero-Yesaya sangat menekankan bahwa dewa-dewi itu sesungguhnya tidak
ada. Dengan demikian sukar untuk menerima bahwa kebiasaan seperti itu masih
terus dipertahankan oleh orang-orang Yahudi, apalagi dengan memberikan
penafsiran seperti yang dikemukakan dalam Imamat 16: 21 di atas. Yang terjadi
ialah mungkin para pemimpin Israel itu dipengaruhi oleh gagasan-gagasan orang
Persia tentang peperangan antara kuasa-kuasa jahat melawan kuasa-kuasa
kebaikan. Jika benar demikian maka kambing hitam itu digunakan dalam rangka
maksud TUHAN yakni untuk menghadapi kejahatan. Kambing itu ditempatkan hidup-hidup
di hadapan TUHAN sebelum dilepaskan pergi sesuai dengan yang dimaksudkan (Im
16: 10).
4.
Adat-istiadat Yahudi
Setelah kembali ke Yerusalem dari Pembuangan,
orang-orang Yahudi meneruskan banyak adat-istiadat yang telah banyak membantu
mereka mempertahankan semangat kemandirian mereka selama masa Pembuangan
tersebut. Beberapa dari antara adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan itu adalah
Sunat, Sabat, dan Sinagoge. Berbeda dengan bangsa-bangsa lain di masa itu,
orang-orang Yahudi memandang sunat adat yang harus dijalani seseorang ketika
masih bayi. Mungkin inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa Hukum Taurat
melarang perkawinan antara mereka dengan bangsa-bangsa bukan Yahudi. Rupanya
perkawinan campuran seperti itu dikuatirkan akan membawa pertentangan dalam
keluarga mengenai kapan waktu pelaksanaan sunat itu bagi seorang anak. Jika
para istri yang berasal dari bangsa asing ikut campur tangan dalam urusan sunat
ini maka hal itu akan mengaburkan perbedaan penting antara orang-orang Yahudi
dengan bangsa—bangsa lain.
Masalah lain yang juga dihadapi oleh
orang-orang Yahudi adalah menyangkut bangsa-bangsa asing atau bukan Yahudi yang
tidak mengenal hari Sabat (bnd. Neh 10: 31; 13: 15-22). Nehemia dalam kata
sambutannya ketika kitab Taurat dibacakan di depan seluruh umat Yahudi, Ihra
mendorong agar orang-orang Yahudi di luar Yerusalem membangun
sinagoge—sinagoge. Maksudnya ialah supaya di dalam sinagoge-sinagoge itu
tulisan-tulisan suci mengenai agama Israel terus dibaca dan dipelihara.
Tulisan-tulisan suci tersebut memainkan peranan yang penting dalam kehidupan
orang-orang Yahudi di setiap masa. Yudaisme lambat laun berkembang menjadi
suatu agama yang berdasarkan hukum-hukum tertulis. Dan salah satu peranan dari
para pemimpin agama Yahudi adalah menafsirkan hukum Taurat tersebut.
Evaluasi :
1.
Siapakah yang
disebut raja. Ezra, Nehemia atau Arthaxerxes ? Sebutkan.
2. Apakah yang
menjadi pedoman kehidupan keagamaan bagi orang Yahudi, sebut dan jelaskan?
3.
Apakah yang
membuat terjadinya perubahan kehidupan tradisi dan keagamaan bangsa Yahudi di
kemudian hari setelah mereka tiba di Yerusalem? Jelaskan
4.
Dalam PL
siapakah yang disebut pemimpin agama ? Sebut dan jelaskan
5. Sebutkan nama
perayaan keagamaan orang Yahudi setelah masa pembuangan, di mana tertulis?
6.
Apakah yang termasuk
dengan adat istiadat orang Yahudi? Sebut dan jelaskan
6. ALLAH MEMILIH BAPA LELUHUR ISRAEL
1.Bagaimana
Kesaksian Kitab2 Perjanjian Lama
Tuhan pernah memanggil Abraham, Ishak dan
Yakub, dan telah menyatakan diriNya kepada mereka, telah mengikat suatu perjanjian
dengan Abraham dan melanjutkannya dengan Ishak dan Yakub beserta keturunannya,
Allah berulang menjanjikan perlindungan, berkat, keturunan dan tanah kepada
mereka; itulah pokok pujian dan kepercayaan umat Israel sejak mereka menetap di
tanah Kanaan.
Pokok ini termasuk "Credo" umat
Israel sebagai pendahuluan kepada pokok2 "Keluaran dari Mesir" dan
"pemberian tanah Kanaan", sebagai penghubung antara pokok
"Penciptaan dunia" dengan segala pokok yang berikut, dan — khususnya
menurut pandangan para imam sebagai peletakan dasar dari perbuatan Allah di
gunung Sinai.
Kitab-kitab Perjanjian Lama membenarkan bahwa
pokok ini sudah lama termasuk dalam rentetan pokok2 kepercayaan umat Israel.
Bahwa umat itu "berasal" daripada Abraham, Ishak dan Yakub. Hal ini
tidaklah se-mata2 merupakan bahan pengetahuan sejarah, dan tidaklah se-mata2
menjadi suatu fakta dari masa lampau yang selayaknya diperingati. Memang, Allah
pernah bertindak terhadap para bapa le¬luhur. Allah pernah memilih, memanggil,
mengangkat mereka, pernah menyatakan diriNya kepada mereka, pernah mengikat
perjanjian dengan mereka, dan pernah menjanjikan mereka suatu keturunan yang
besar dan suatu tanah sebagai milik.
Semuanya ini pernah terjadi. Namun peristiwa2
itu barulah mendapat artinya sebagai perbuatan2 Allah : Dialah yang bertindak;
itu berarti bahwa peristiwa2 tersebut tidak melulu menjadi masa lampau, tetapi
masih berlaku dan masih berkuasa, baik untuk menerangkan, maupun untuk merubah
masa kini. Dialah yang bertindak terhadap para bapa leluhur, dan dengan memakai
para bapa leluhur itu berarti juga bahwa hanya Dialah yang berkuasa untuk
memberi peristiwa2 itu kuasa berlakunya pada segala masa. Makanya umat Israel
mulai memperingatinya sebagai pokok kepercayaan, bahkan sebagai dasar permintaan
doa untuk masa kini dan masa datang. Seandainya Allah tidak berkenan untuk
menegakkan perbuatan2Nya, maka kosong dan sia2lah segala peristiwa2 di masa
lampau, biar bagaimanapun megahnya berita2 yang disiarkan tentang itu !
Rangkaian ketiga nama bapa leluhur itu
terdapat secara lengkap dalam Kel 2:24; 6:3,8; 32:13; 33:1; Im 26:42; Bil
32:11; Ul 1:8; 6;10; 9:10; 9:5,27; 29:12; 30:20; 34:4; 2 Raj 13:23. Ceritanya
diringkaskan da¬lam Yos 24:2-4 dan Mzm 105:8-23. Umat Israel suka disebut
"keturunan Abraham, Ishak dan Yakub", (bnd Yer 33:26). Ada kalanya
para ba¬pa leluhur itu hanya diwakili oleh Abraham dan Yakub/Israel: Mik 7:20;
Yes 29:22; Yes 63:16, hanya oleh Abraham sendiri: Mzm 47:10; 105:42; Neh 9:7-8;
Yes 41:8; 51:2 (Sara); Yeh 33:24; 2 Taw 20:7, dan sering di dalam Perjanjian
Baru, atau oleh Yakub/Israel sendiri : Hos 12:3-8,13; Ul 26:5; 1 Sam 12:8; Yeh
20:5; 28:25; 37:26; Mzm 22:24. Beberapa nats menyinggung para bapa leluhur itu
dengan tidak menyebut nama2nya (bnd Ul 6:23; Yer 32:22 dan Kis 13:17).
Pemilihan para bapa leluhur itu termasuk
dalam pokok2 kepercayaan umat Israel, demikianlah sudah kita katakan. Hal ini
ternyata pula dari isi rumusan2 "Credo" yang bertaburan di dalam
kitab2 Perjanjian Lama. Beberapa di antara rumusan2 itu memuat pokok ini di
tempat pertama : para bapa leluhur disebut dahulu, barulah keluaran dari Mesir
dan pemberian tanah Kanaan.
Bagaimanapun juga, kitab2 Perjanjian Lama
tidak bertujuan hendak menulis sejarah umat Israel. Seandainya memang demikian
maksudnya, maka tentulah pokok para bapa leluhur itulah yang merupakan pokok
dasar atau fasal pertamanya yang menentukan isi dan pengertian dari segala
fasal yang berikutnya, Tetapi urutan peristiwa2 sejarah itu hanya memainkan
peranan yang terbatas di dalam kesaksian Perjanjian Lama : belum tentu apa yang
terjadi lebih dahulu itu yang "primer" terhadap apa yang terjadi
lebih kemudian. Kitab2 Perjanjian Lama mengikuti suatu pola dan urutan yang
lain. Pokok dasarnya penyataan dan perbuatan Allah yang terutama sekali ialah
Keluaran dari Mesir dan Pemberian tanah Kanaan, jadi bukannya Pemilihan para
bapa leluhur, dan Penciptaan langit dan bumi pun tidak.
Semuanya ini berarti, bahwa pokok pemilihan
para bapa leluhur itu selayaknyalah dipandang sebagai pelengkap dari pokok2
dasar tadi. Umat Israel mengaku terlebih dahulu asalnya "dari Mesir"
(Hos 11:1; 12:10; Am 3:1; Yeh 20:5-6; Ul 4:20; 1 Raj 8:35 dst), barulah juga
mengaku asalnya dari para bapa leluhur. Para pengumpul dan penyusun cerita2
bapa leluhur dalam Kej 11-50 itu mempunyai cerita tentang keluaran umat Israel
dan masuknya ke tanah Kanaan di dalam telinga dan ingatannya, makanya seorang
pembaca cerita2 itu harus berbuat demikian juga.
Rumusan2 "Credo" yang telah kita
tinjau tadi memberi bimbingan yang aman di dalam hal ini, sama seperti di dalam
hal pokok Penciptaan dunia. Beberapa di antara rumusan2 itu sama sekali tinggal
diam. Mzm 103 dan lain2, nyanyian puji2an merumuskan perbuatan2 Allah.
Semua segi perbuatan Allah terhadap Abraham,
Ishak dan Yakub tadi telah kita sebutkan lebih dahulu berhubung dengan
perbuatan Allah selaku Khalik langit dan bumi; kita akan menyebutkannya sekali
lagi dalam pembicaraan perbuatan2 Allah lainnya yang turut merupakan pokok
kesaksian kitab2 Perjanjian Lama. Namun demikian, perbuatan Allah terhadap para
bapa leluhur Israel itu mempunyai juga sifatnya yang khas. Mengamati sifatnya
itulah tugas kita di dalam bagian yang menyusul.
2.Allah
memilih orang-orangNya.
Allah menyatakan diriNya kepada Abraham,
Ishak dan Yakub, sebab la hendak memilih mereka :
a) sesuai
dengan pilihan dan perkenananNya sendiri bukan karena sesuatu hak, jasa atau
bakat pada pihak mereka;
b) untuk
membuat mereka menjadi alat di dalam rencanaNya dan menjadi pelopor2 bagi
umatNya di masa depan bukan semata untuk memberkati mereka;
c) dengan
menggerakkan mereka, sehingga mereka menjawab panggilanNya sebagai hamba, nabi
atau saksi Tuhan di tengah2 segala bangsa;
d) dengan
mengesampingkan untuk sementara, namun dengan tidak melupakan atau menolak
untuk selama-lamanya Lot, Ismael dan Esau serta keturunannya yang tidak
terpilih.
Sebaliknya angkatan2 umat Israel yang
kemudiannya memakainya sebagai kunci pengertian terhadap cerita2 bapa leluhur
itu. Mereka sudah biasa membanggakan Israel sebagai "umat yang
terpilih" (Ul 7:6; 14:2) dan suka mengenakan sebutan ini kepada para bapa
leluhur umat itu. Allah "mengasihi nenek moyangmu dan memilih keturunan
mereka" (Ul 4:37). "Engkau, O, TUHAN, adalah Allah; Engkau te¬lah
memilih Abram dan membawanya ke luar dari Ur-Kasdim" (Neh 9:7). Selain
dari Abraham dan keturunannya, Allah "memilih" juga hambaNya Daud dan
Sion, kota milikNya; bebepara nabi yang tertentu pun turut disebut "orang
yang dipilih TUHAN". Nampaknya istilah ini telah menjadi salah satu rumus
yang terpenting untuk mengutarakan perbuatan Allah di dalam keseluruhannya;
Kitab2 Perjanjian Baru pun tak ketinggalan mempergunakannya dalam hal
menggambarkan Berita Kesukaan.
Mengatur seluruh perbuatan Allah terhadap
para bapa leluhur itu di bawah satu istilah, tentulah ada bahayanya, terutama
apabila ternyata bahwa naskah2 dasar yang tertua se-kali2 tidak memakai
pengistilahan yang seragam. Tetapi bahaya ini dapat dicegah, asalkan is¬tilah
"memilih" itu tetap dipakai sebagai kunci pengertian saja. Per-tama2
kesaksian cerita2 itulah yang harus didengarkan !
Umat Israel di segala waktu mempunyai
kecenderungan untuk mem-besar2kan para bapa leluhurnya, tetapi kecenderungan
ini tak sempat mencapai tujuannya. Kitab2 Perjanjian Lama sendiri menggambarkan
"bapak2 leluhur" itu sebagai manusia biasa, bahkan kadang2 sebagai
manusia yang berdosa. Mungkin di seluruh muka bumi dan di segala masa tidak ada
suatu suku atau bangsa yang mengenal para bapa leluhurnya seperti umat Israel
mengenal bapa2 leluhurnya sendiri ! Di tengah-tengah rakyat kerajaan Israel
Utara, yang menjunjung tinggi Yakub, nabi Hosea berani memberi lukisan tentang
Yakub sebagai seorang penipu dari sejak perut ibunya (Hos 12:4-8), dan seorang
nabi lain pada zaman pembuangan memperingatkan umat itu bahwa "bapamu yang
pertama telah berdosa" (Yes 43:27). Bagi bapa2 leluhur, yang begitu rendah
dan biasa sifatnya, mustahillah umat Israel mendirikan patung2 !
Salah satu hal, yang turut menghindarkan
pendewaan semacam itu, ialah nisbah perhubungan antara umat Israel dengan para
bapa leluhurnya. Kedua pihak harus dibedakan satu sama lain, tetapi tak dapat
dipisahkan satu sama lain : Allah memilih para bapa leluhur; itu berarti bahwa
la memilih umat Israel. Mengapa justru Israel, tetapi Edom, Filistin atau Mesir
tidak ? Pertanyaan ini tak dapat dijawab, sebagaimana pemilihan para bapa
leluhur itu oleh Allah tak dapat diterangkan sebab atau alasannya. Menerangkan
mengapa umat Israel terpilih adalah tak mungkin bagi seorang yang mengenal umat
itu, dan tak mungkin pula bagi mereka yang memberi kesaksiannya di dalam kitab2
Perjanjian Lama. Daripada memberi jawaban, yang mem-besar2kan Israel sebagai
umat yang "selayaknya" terpilih, mereka lebih suka bermenung, sambil
memuji keputusan Allah yang bebas dan tak terduga itu.
Kitab2 Perjanjian Baru pun menggemakan
keputusan ilahi yang bebas itu. Yesus dikatakan "memanggil orang-orang
yang dikehendakiNya sendiri" (Mrk 3:13), Waktu menghimpunkan umatNya di
Korintus, Allah tidak memilih orang yang bijaksana, bangsawan atau kaya,
melainkan justru orang yang dipandang bodoh, lemah dan hina, "supaya
janganlah manusia dari daging memegahkan diri di hadapan TUHAN" (1 Kor
1:25-31, berdasarkan Yer 9:23). Allah menetapkan kita menjadi anak2 angkatNya
"menurut keputusan kehendakNya yang bebas", su¬paya kelimpahan
anugerahNya dipuji orang (Ef 1:5 dst.).
Abraham, Ishak dan Yakub diperkenalkan kepada
kita sebagai manusia yang berdarah dan berdaging. Allah tidak hanya memilih
umat Israel sebagai keseluruhan, dengan Yakub atau Abraham seba¬gai
"lambang") atau "simbol kebangsaan" se-mata2. Allah tidak
hanya memilih suatu bangsa; ia memilih juga malahan terlebih dahulu la memilih.
manusia2 tertentu, manusia "perorangan" dengan nama, kelamin, sifat,
muka, suara dan riwayat hidupnya sendiri masing2. Para bapa leluhur Israel
tidaklah melulu merupakan nomor2 pertama di dalam rentetan daftar keturunan
umat itu; sesudah ribuan tahun potret2 mereka masih memperlihatkan ciri2 perorangan
dan kedirian. Lain tokoh Abraham, lain tokoh Yakub; lain Lea, lain Rahel ! Tokoh2
semacam itu berasal dari kehidupan yang sesungguhnya.
Allah memilih para bapa leluhur itu bukanlah
oleh karena mereka ternyata orang-orang yang baik, benar dan bijaksana pelopor2
umat manusia yang dikehendakiNya; sebaliknya, sebagai orang2 yang terpilih
itulah baru mereka ditantang, supaya tetap "menuruti jalan TUHAN dengan
melakukan kebenaran dan keadilan", sehingga menjadi suatu tantangan pula
terhadap masyarakat di negeri penumpangan mereka. Hanya sekali2 dan di dalam
arti yang terbatas saja mereka berhasil dalam melaksanakan tugas mereka.
Cerita2 para bapa leluhur itu menjaga dengan hati2, supaya segala pujian di
dalam hal ini diberi kepada Allah dan bukan kepada manusia (50:20) !
Allah memilih orang2 yang disukaiNya, orang2
yang berdarah dan berdaging, orang2 yang digerakkanNya sehingga menjadi
hamba-Nya dan saksiNya. Apakah yang terjadi dengan orang2 lain, dengan mereka
yang nampaknya tidak turut terpilih, sebab tidak disukai dan oleh karenanya
tidak turut digerakkan menuju kehidupan baru manusia ? Sekiranya orang2 pilihan
Allah itu terasing untuk "dianakmaskan", maka tentulah selebihnya
dari yang tidak terpilih itu akan "dianaktirikan" !
Evaluasi
:
1. Apakah janji Tuhan
kepada umat-Nya sehingga sebelum mereka menduduki tanah Kanaan? Sebut dan
jelaskan
2.
Apakah yang
menjadi alasan sehingga Tuhan memilih bangsa Israel? Sebut dan jelaskan!
3.
Mengapa
peristiwa pemanggilan dan pemilihan Israel disebut “Credo”? Jelaskan.
4. Sebut dan
jelaskan faktor apakah sebagai alasan Tuhan menetapkan Israel menjadi umat
pilihan-Nya?
5.
Apakah
kelemahan dan dosa Israel di hadapan Tuhan? Jelaskan
7.
PENGANGKATAN
RAJA-RAJA DI ISRAEL
Pendahuluan
Allah bertindak di medan sejarah. la telah
menciptakan langit dan bumi, memilih para nenek moyang Israel, melepaskan
umatNya dari perhambaan di Mesir , membimbing
umat itu di
padang gurun, menyatakan
undang-undangNya di Sinai, memberikannya tanah Kanaan sebagai tempat kediaman.
Semuanya ini membuktikan bahwa Allah tidak melepaskan pekerjaan tanganNya.
Dengan segala usahaNya yang menjadi pokok kesaksian Perjanjian Lama ini, la tetap giat sesuai dengan maksud
dan rencanaNya yang satu : mendatangkan dunia yang baru, penuh dengan
keadilan dunia yang telah biasa kita sebutkan kerajaan Allah.
Bahwa kerajaan Allah itu sudah datang, sudah
mulai nyata di atas bumi, hal ini
merupakan inti kesaksian kitab-kitab
Perjanjian Baru yang terkenai. Tetapi benarkah hal kerajaan itu menjadi
pokok kesaksian kitab-kitab Perjanjian Lama pula ? Haruslah diakui bahwa
istilah "kerajaan Allah"
ini masih jarang sekali muncul,
Istilah ini baru mulai digunakan
oleh kitab-kitab PL
yang terkemudian. Satu-satunya
gejala yang secara tidak
langsung membuat kita teringat
kepada "kerajaan Allah",
ialah berita-berita tentang raja-raja dan kerajaan-kerajaan manusia yang acap kali dikatakan memerintah di
atas bumi : di
dunia bangsa-bangsa asing
terlebih dulu, namun sewaktu lamanya di kalangan umat Israel sendiri
juga. Penelitian kita akan menunjukkan, betapa eratnya perhubungan antara
"kerajaan-kerajaan manusia" ini di sebelah, dengan
"kerajaan Allah"
itu di sebelahnya
lagi. Raja-raja manusia
adalah petugas-petugas
Allah, sehingga ke-raja-annya pun bersangkut-paut dengan kerajaan Allah sendiri.
Statistik penggunaan kata-kata di dalam
keseluruhan kitab-kitab Perjanjian lama menghasilkan suatu kenyataan yang
mengherankan. Kata benda ibrani untuk "raja" digunakan 2500 kali
lebih. Katakerja "kerajaan" itu terpakai masing-masing 240 kali
lebih. Katabenda melekh ("raja") tercatat sebagai no.3 di dalam
daftar kata benda kata benda yang terbanyak kali dipakai, didahului oleh ben
"putera" (no. 1) dan elohim "Allah" (no.2) saja. Itu berarti
bahwa bayangan "raja" ini termasuk dalam pokok-pokok pembicaraan
Alkitab yang paling biasa dan paling penting.
Dari manakah minat yang sebesar itu terhadap
soal raja-raja itu ? Ilmu sejarah, khususnya ilmu masyarakat dan kebudayaan,
menyediakan suatu keterangan yang tentu saja patut diperhatikan. Bang¬sa-bangsa
antik, di mana umat Israel termasuk di antaranya, hampir semuanya memakai
kerajaan (monarchy) sebagai lembaga pemerintahan dan pola kehidupan
masyarakatnya masing-masing. Seluruh alam pikiran mereka, kehidupan
sehari-hari, adat-istiadat, kebudayaan dan agama, segala-galanya terpengaruh
oleh sistim masyarakat itu. Apa herannya lagi kalau umat Israel pun turut
terpengaruh, dan kitab-kitab suci mereka penuh dengan sindiran-sindiran
mengenai raja-raja ?
Keterangan cara sosiologis ini pasti ada
unsur kebenarannya. Namun penelitian kita akan menunjukkan adanya sebab-sebab
yang lebih dalam. Kerajaan sebagai lembaga pemerintahan dan sistim masyarakat
ada juga makna theologis bagi Israel, ada juga sangkut-pautnya dengan kerajaan
abadi, di mana Allah sendiri menjadi Pemerintah. Perhatian Israel tidaklah
tertarik oleh lembaga kerajaan itu pada dirinya. Yang penting bagi mereka,
ialah peranan raja-raja itu sebagai alat-alat di dalam tangan Allah,
peng¬gunaan lembaga itu di dalam kebijaksanaanNya selaku penguasa tertinggi
atas umatNya dan umat manusia seluruhnya. TUHAN, Allahnya orang Israel,
menghendaki suatu pemerintahan yang adil; makanya la berulang-ulang mengambil
tindakan, mengangkat raja-raja di sini, melenyapkan raja-raja di sana.
Begitu besar makna tindakan-tindakan Allah di
bidang pemerintahan bangsa-bangsa itu, sehingga di atas dasarnya la sendiri mulai
dikenal sebagai Dia yang telah menetapkan hatiNya untuk pada suatu waktu
mengangkat seorang raja menjadi pelaksana kehendak-Nya yang terakhir di atas
bumi. Segi kegiatan ilahi ini semakin disadari oleh umat Israel. Penantian
seorang raja adil yang akan diangkat TUHAN memainkan peranan yang semakin besar
di dalam kepercayaan mereka; terutama para nabi-nabi pada zaman raja-raja
itulah yang membangkitkan dan mengembangkan penantian yang sudah biasa disebut
penantian Mesias itu. Kiranya tidak usah di uraikan di sini, betapa besar
akibat perkembangan ini, dan betapa jauhnya pengaruhnya atas isi kesaksian
kitab-kitab Perjanjian Baru.
Tindakan-tindakan Allah selaku Dia yang
mengangkat raja-raja untuk pertama kalinya, mulai disadari di dalam suatu babak
sejarah Israel yang tertentu", terkenal sebagai "zaman
raja-raja". Maklumlah babak sejarah ini mulai dengan pengangkatan Saul (±
1020 S.M.), dan berakhir dengan kematian Yoyakhin pada waktu pembuangan di
Babel (± 550 s.M.). Jadi tidak sampai lima abad saja lamanya babak itu. Apakah
yang sebenarnya terjadi di dalam kancah waktu lima abad itu ? Sketsa sejarah di
bawah ini didasarkan atas bahan-bahan kesaksian Perjanjian Lama sendiri, dengan
mempergunakan hasil-hasil penelitian ilmu sejarah modern sebagai pelengkap
seperlunya.
1. Umat Israel pernah tampil sebagai
persekutuan yang tidak mempunyai raja; mereka tetap ingat dan sadar akan hal
itu. Persekutuan mereka rada longgar, dengan suku-suku itu hidup lepas yang
satu dari pada yang lain. Ketertiban masyarakat diatur oleh tiap-tiap suku
sendiri-sendiri,
Kerjasama antar suku hanya diadakan seberapa
perlu, misalnya dalam menghadapi musuh-musuh bersama, atau dalam berbakti
kepada Allah sembahan bersama. Mereka tidak membutuhkan suatu pemerintahan
sentral yang kuat, dan sudah tentu tidak mau mematuhi pemerintahan raja-raja
asing.
2. Keadaan ini berubah dalam keadaan
suku-suku itu semakin mereka bercocok tanam di Kanaan. Bangsa-bangsa penduduk
asli hampir semuanya mempunyai rajanya masing-masing. Untuk pertama kalinya di
sinilah suku-suku Israel belajar kenal dari dekat dengan sistem pemerintahan
yang rapih dan kuat itu; di sini barulah mereka menjadi sadar akan kelainannya
dan kelemahannya sendiri yang tidak punya raja. Tak dapat tidak, pastilah
timbul keinginan untuk "menjadi seperti segala bangsa yang lain" (1
Sam 8,5), sehingga mampu mempertahankan dirinya di tengah-tengah mereka. Namun
di pihak lain, betapa kesal sebenarnya suku-suku Israel terhadap suatu sistem
pemerintahan yang sudah pasti juga akan mengurangi kemerdekaan yang selama itu
berlaku di kalangannya sendiri !
3. Perkembangan suku-suku Israel di Kanaan
ternyata tidaklah seperti yang diharapkan, malah sebaliknya semakin dibahayakan
oleh bangsa-bangsa penduduk asli dan tetangga. Amalek dan Midian menekan dari
Selatan, Moab dan Amon dari Timur, Aram dari Utara, Filtstin dari Barat, dan
kerajaan-kerajaan kota orang Kanaan dari tengah. Dalam keadaan yang segawat ini
pun Israel tidak segera mengambil alih lembaga yang asing itu.
Pemimpin-pemimpin mereka — kemudian terkenal dengan sebutan
"hakim-hakim" — biasanya muncul dalam keadaan darurat saja. Dari
kisah Gideon dan putranya (Abimelekh, Hak 6—9) teranglah bahwa penobatan
seorang raja sudah mulai dipertimbangkan, namun saatnya belum sampai untuk
mewujudkannya.
4.
Penindasan oleh bangsa
Filistin menjadi begitu
hebat, sehingga dengan tiba-tiba kita melihat suku-suku itu
menerima Saul sebagai rajanya yang pertama; hanya suku Yehuda rupanya
belum tergabung di dalam kerajaan nasional yang bernama "Israel" ini
(2 Sam 2,9). Sedikit kemudian terbentuklah kerajaan Yehuda di bawah
pemerintahan Daud (2 Sam 2,1-7). Dari pemersatuan kedua negara itu lahirlah
kerajaan Israel Raya di bawah Daud dan puteranya, Sa¬lerno, kerajaan yang
merangkumi bangsa-bangsa asing, tetapi hanya berdiri kurang lebih 70
tahun lamanya (1000—930
s.M.). Zaman keemasan ini disusul
oleh zaman kedua
kerajaan bersaudara yang terpisah kembali, yang satu di Palestina Tengah
dan Utara (kerajaan Israel, 930—722),
yang lain di sebelah Selatan
(kerajaan Yehuda, 930—586).
5.
Sistem pemerintahan yang baru ini menyebabkan perubahan-perubahan yang
dalam bagi kehidupan masyarakat Israel. Keamanan dan ketertiban menjadi
lebih terjamin, baik ke dalam
maupun ke luar. Namun kemajuan ini haruslah mereka bayar dengan harga
yang cukup mahal. Otonomi suku-suku dengan adat dan lembaga-lembaganya masing-masing
semakin lenyap, sedangkan beban negara kesatuan
berupa pajak dan
kerja rodi semakin
terasa. Besarnya kewenangan raja dengan aparat pegawainya, meluasnya tanah-tanah
milik mahkota, digantinya angkatan suku-suku oleh prajurit dan tentara
sewaan, keterlibatan negara di dalam percaturan politik — semuanya ini
merupakan faktor-faktor baru yang mampu menggemparkan dasar-dasar masyarakat
Israel.
6. Jika umat Israel tak Input dari
perubahan-perubahan revolusioner, maka pada galibnya lembaga kerajaan itu pun
mengalami akibat-akibat penerapannya kepada suatu masyarakat yang sejak mula
berdirinya tak mengenal pemerintahan raja-raja. Adat kebiasaan Is¬rael sebagai
umat milik TUHAN ternyata mengganggu perkembangan sistem yang baru. Raja-raja
Israel tak pernah diizinkan untuk bertindak tanduk dengan kewenangan mutlak,
untuk menjadikan kemauannya sendiri menjadi undang-undang yang tertinggi.
Raja-raja Israel tidak dapat naik takhta, sebelum mereka "ditunjuk"
dan "diurapi" oleh seorang nabi TUHAN. Keleluasaan mereka tetap
ditantang dan dibatasi oleh kedudukan mereka sebagai "hamba TUHAN"
yang bersifat manusia melulu, sebagai petugas umat yang bertanggung jawab
kepada umat itu. Mereka sempat meniru sistem bangsa-bangsa asing, namun tak
dapat menghilangkan kelainan Israel.
7. Sebagaimana umat Israel pernah tidak punya
raja-raja, demikianlah pernah datang waktunya, di mana mereka tidak punya raja
lagi. Bagi Israel, "zaman kerajaan" itu pernah berakhir. Hal ini
terjadi tatkala kerajaan Yehuda runtuh (586 s,M.), dan wilayahnya dimasukkan ke
dalam suatu Propinsi kerajaan Babilonia Baru. Datangnya akhirat itu sebenarnya
sudah jelas lebih dulu, yakni paling lambat dengan malapetaka yang menimpa
kerajaan Israel Utara (722 s.M.). Raja-raja asing (Neh 9,37) berturut-turut
menguasai sisa umat itu yang tinggal (mulai kini biasa disebut "umat
Yahudi"), dan dengan segala kepahlawanannya mereka tidak berhasil untuk
"memulihkan kembali kerajaan bagi Israel" (Kis 1,6)., Sudah
selesaikah partisipasi dan tanggung jawab Israel di bidang pemerintahan dan
politik? Sebenarnya bukan demikian. Tanggungjawab itu tetap ada pada mereka,
biar sebelum atau sesudah zaman kerajaan. Di samping lembaga kerajaan, masih
banyaklah tersedia cara-cara lain untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil.
Sekianlah sejumlah fakta-fakta sejarah
sebagai latar belakang bagi pokok kita. Pasal ini akan mulai dengan suatu
bagian mengenai tempatnya pengangkatan raja-raja di dalam kepercayaan Israel,
dan akan diteruskan berturut-turut oleh tiga bagian, teruntuk masing-masing
kepada cara dan makna pengangkatan raja-raja di Israel, kepada pemerintahan
raja-raja Israel di mata TUHAN, dan kepada raja adil yang akan datang.
Evaluasi
:
1. Bagaimanakah
kondisi sosial politik bangsa-bangsa di sekitar dunia Israel sebelum mereka
memiliki Raja yang defenitif? Jelaskan
2. Apakah motipasi
Israel untuk meminta raja sebagai pemimpin mereka (Baca 1 Samuel 8:5)? Jelaskan.
3.
Sebelum
mereka memiliki raja, siapakah pemimpin Israel? Sebutkan
4. Kemudian
Israel pernah memiliki sistim Teokrasi dalam kerajaan israel, sebutkan sistim
kerajaan sebelumnya?
8.
PENGANGKATAN
NABI-NABI
Di
dalam kepercayaan Israel
Allah, yakni Allahnya Israel dan Raja seluruh
dunia, selalu bertindak sesuai dengan maksud, rencana dan firmanNya sendiri, tetapi
la sudi memperkenalkan isi firman itu kepada umatNya.
Makanya Allah sewaktu-waktu mengutus
orang-orang tertentu menurut pilihanNya, laki-laki atau perempuan, sebagai
pengantar firmanNya, sekedar untuk menyadarkan umatNya akan maksud segala
perbuatan-Nya. Peristiwa "Allah mengutus nabi-nabi" ini acap kali
diriwayatkan sehubungan dengan tindakan-tindakan Allah yang besar, namun
saksi-saksi Alkitab sering menonjolkannya sebagai perbuatan Attah pada dirinya,
serentetan dan setingkat dengan lain-lain pokok kepercayaan Israel
Di dalam pasal ini akan disuguhkan
bahan-bahan, pertimbangan-pertimbangan dan penjelasan-penjelasan pendahuluan
sbb. : a) bahan-bahan Alkitab berbentuk "ceritera nabi" (di luar
kitab-kitab nabi); b) dasar alkitabiah dari judul bab ini ("Allah mengutus
nabi-nabi"); c) pengutusan para nabi sebagai "perbuatan besar dari
Allah"; d) relasi antara pokok ini dengan lain-lain pokok-pokok
kepercayaan Israel.
a) Bahan-bahan alkitabiah manakah yang
relevan sebagai kesaksian mengenai pengutusan para nabi? Agaknya pertanyaan ini
terjawab dengan segera, bukankah isi pemberitaan para utusan Allah itu telah
tercatat dan terkumpul di dalam "kitab-kitab nabi" yang ada pada
kita; adanya empat kitab nabi yang "besar" di samping dua belas kitab
nabi yang "kecil" di dalam Kitab Suci dapatlah dipandang sebagai
bahan pengetahuan dari setiap anggota Gereja yang pernah mengikuti pelajaran
agama. Kitab-kitab nabi itu memang tidaklah terdiri atas nubuat-nubuat melulu,
Beberapa di antaranya - khusus Yes. 1-39, Yer, Dan 1-6, Hos, Am dan Yun memuat
ceritera-ceritera, yakni laporan-laporan singkat atau panjang tentang
perbuatan-perbuatan dan pengalaman-pengalaman para utusan Allah, Sejumlah
contoh-contoh dari jenis bahan-bahan ini justtu terdapat di dalam kitab-kitab sejarah,
dan acap kali di tempat-tempat yang tidak terduga.
Sungguh
mengesankan banyaknya berita-berita Alkitab tentang segala pelihat.
Abdi-abdi Allah, nabi-nabi dan nabiah-nabiah yang pernah bangkit dari
tengah-tengah Israel! Kitab-kitab nabi pada dirinya sudah mencukupi sebagai
kenyataan, tetapi kitab-kitab sejarah itupun berkelimpahan bahan-bahan mengenai
gejala ini; tak heran juga kalau, menurut kebiasaan Yahudi, kitab-kitab Yosua
s/d Raja-raja disatukan di bawah judul "nabi-nabi yang terdahulu".
Eksistensi Israel sebagai umat Allah, di sepanjang sejarahnya, tidak dapat
dipikirkan tanpa nabi-nabi: demikianlah kesaksian sebagian yang terbesar dari
kitab-kitab PL, dengan hanya beberapa kitab tertentu yang tidak termasuk di
dalamnya, seperti (Imamat, Mazmur, Amsal, Ayub, Pengkhotbah) sebagai
kekecualian. Sewajarnyalah gejala kenabian itu diperhatikan sebagai salah satu
pokok alkitabiah yang terkemuka.
b). "Allah mengutus hamba-hambaNya para
nabi". Rumus judul ini telah dipilih dengan sengaja, sekadar untuk menyimpulkan
kesaksian Alkitab dengan sebaik mungkin. Tekanan utama diberi kepada perbuatan
Allah: pertama-tama Dialah yang mengambil prakarsa, dan Dialah yang bekerja
dengan perantaraan para nabi. Bukannya maksud kita dalam hal ini, hendak
mengabaikan peranan manusia, atau malah hendak menyangkalnya! Keterlibatan
seseorang yang bertugas sebagai nabi, dalam hal bekerja maupun dalam hal
menderita, justru ternyata dari ceritera-ceritera nabi yang kita susun tadi.
Para nabi tidaklah bertugas sebagai alat yang pasif; mereka sebaliknya
digerakkan sehingga menjadi aktif, malah lebih giat dari pada manusia biasa.
Namun jelasiah bahwa menurut kesaksian Alkitab sebenarnya Allah sendirilah yang
memungkinkan seseorang menjadi nabi, maka itu tak heran kalau tentang nabi-nabi
yang sejati selalu dikatakan bahwa Allah sendiri telah mendatangkan atau
membangkitkan mereka (Ul 18, 15. 18).
"Allah mengutus hamba-hambaNya, para
nabi". Kata kerja "mengutus" ini pun dipilih dengan sengaja.
Memang, tindakan Allah terhadap para nabi, dan dengan perantaraan mereka
terhadap Israel dan dunia bangsa-bangsa itu, dapat dirumuskan juga dengan
memakai beberapa kata kerja yang lain. "Allah menyatakan dirinya"
atau "berfirman" kepada para nabi, serta "memanggil" mereka
dengan "menaruh rohNya" ke atas mereka, dengan peran¬taraan
hamba-hambaNya itu, Allah "berfirman" kepada umatnya; sekali la
"memperingatkan", "menegur" atau "mengancam",
lain kali la "menghibur" atau menurut rumus yang paling biasa di
kalangan gerejawi — "menjanjikan keselamatan" kepada umat itu. Untuk
judul ini dipilihlah kata kerja "mengutus", mengingat bahwa tiada
lain pengistilahan yang lebih lumrah digunakan oleh Alkitab. Rupanya istilah
"mengutus" inilah yang paling cocok sebagai kesimpulan dari segala sesuatu
yang dimaksudkan Allah, apabila la bertindak dengan perantaraan hamba-hambaNya,
para nabi.
Sebuah sebutan lain untuk nabi-nabi, yakni, (Ibr. mal'âkh), "utusan/pengantar berita", menarik perhatian kita di
dalam hubungan ini. Saksi-saksi Alki¬tabiah biasanya mengartikannya sebagai
"makhluk sorgawi" atau "malaikat" (mis, Kel 23,20; 33,2), namun tidak jarang pula mereka
membayangkannya sebagai manusia yang diutus Allah (bnd malaikat dalam Hak 13,
3.9.13, seorang abdi Allah menurut 13,8!). Kata benda mal'âkh kini diketahui
asalnya dari akar-kata la'âkh (Arab lâ'ka) yang hampir sama artinya dengan
syalah ("mengutus/menyuruh/mengirim"). Dengan
ini teranglah sebabnya mengapa
mal'âkh' telah menjadi sebutan untuk "nabi"(Yes 42, 19; Mal 3,1;
terj. LAI: "utusan"). Besar kemungkinannya bahwa Maleakhi =
"utusanku" (Mal 1: 1) merupakan nama buatan berdasarkan Mal 3, 1.
Akhirnya patutlah dicatat bahwa ucapan ini (Mal 3,1 dengan lanjutannya Mal 4,5)
pernah diterapkan kepada Yohanes Pembaptis.. (Mrk 1,2; Mat 11,10.14 dan par.). Makna Theologia
istilah Yun. apostello "mengutus" dan apostolos "utusan" (=
arab rassul) di dalam PB. tak dapat dipikirkan lepas dari latar belakangnya di
dalam Perjanjian Lama.
Tinjauan kita menunjukkan betapa banyaknya
ucapan-ucapan Alkitabiah yang menyebut para nabi sebagai orang-orang yang
pernah diutus oleh TUHAN. Rupanya peristiwa pengutusan inilah yang menjadi
gelagat yang menentukan di dalam penampilan seorang nabi. Keyakinannya dan
dedikasinya serta dampak dan wibawanya di tengah-tengah masyarakat. Tetapi fakta
yang menentukan justru terletak di sana di seberang (dari) perasaan orang,
yakni di dalam perbuatan Allah yang mengutus. Kiranya hasil penjelajahan ini
menjadi alasan yang cukup kuat untuk membenarkan rumus "Allah
mengutus" itu di dalam bab mengenai para nabi ini.
c) Pengutusan para nabi sebagai perbuatan
besar dari Allah. Dengan istilah "pengutusan" itu ternyata merata di
dalam kesaksian Alkitab mengenai para nabi, maka belum tentu juga kita berhak
untuk memperlakukan hal "mengutus para nabi" itu sebagai salah satu
di antara segala perbuatan besar dari Allah, serentetan dan setingkat dengan
perbuatan-perbuatanNya yang telah dibahas dahulu, di dalam babnya
masing-masing. Benar-benarlah saksi-saksi Alkitab menonjolkannya sebagai
perbuatan Allah yang meletakkan (atau sedikit-dikitnya: turut meletakkan) dasar
dan syarat berdirinya umat Israel, sebagai perbuatan penyelamatan yang sangat
berarti pada segala zaman, sebagai perbuatan yang tanpa dia tidak ada
pengharapan baginya untuk masa depan? Terdapatkah puji-pujian yang
membesarkannya, rumusan-rumusan "Credo" yang mengatakannya, atau
lain-lain naskah yang mengutarakan rasa syukur karena nabi-nabi yang diutus
TUHAN itu? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dipikirkan, sebab belum biasa selama
ini — di dalam buku-buku theologia Alkitab — tema kenabian itu dibahas di bawah
sudut pemandangan karya ilahi; adalah bagaikan menjelajah tanah baru, bila kita
coba menguraikannya sebagai pokok puji-pujian dan pokok kepercayaan bagi Israel
dan umat Allah seluruhnya.
Agak lain sedikit hasil penelitian terhadap
rumusan-rumusan yang bercorak pengakuan atau pengajaran, di mana
perbuatan-perbuatan Allah di masa lampau dikenang (bnd Hos 12), sebuah kumpulan
ucapan-ucapan ilahi dengan perantaraan Hosea, oleh penyadur kitab itu ditambahi
dengan beberapa ayat yang membuat Israel lebih sadar akan kesalahannya terhadap
TUHAN, yakni "Allahmu sejak di tanah Mesir':; di sini pun diperingatkan
bahwa "Aku telah berbicara berulang-ulang kepada para nabi dan banyak kali
memberi penglihatan . . ." (Hos 12,11; terj. LAI diperbaiki men. W.
Rudoph). — Di tengah-tengah nubuat teguran dari Amos terhadap Israel (Am 2,
6—16), para penyadur menyisipkan firman yang terkenal: "Akulah
yang menuntun kamu dari tanah Mesir/dan memimpin kamu . . . di padang
gurun/supaya kamu menduduki negeri orang Amori. Aku teiah membangkitkan
sebagian dari anak-anakmu menjadi nabi/dan sebagian dari teruna-terunamu
menjadi nazir" (Am 2-, 10—11). Menurut Yer 6, 16—17, Allah telah
memperingatkan umatNya dengan berbagai-bagai cara dalam sejarah dahulu kala
(ay. 16), bahkan juga "mengangkat
atas mereka penjaga-penjaga" (ay. 17), meskipun semuanya itu tak mau
diperhatikan oleh mereka. — Nehemia di dalam doa pengakuan dosanya yang panjang
(Neh 9, 1—37) mengingatkan jemaah kepada para nabi (Neh 9, 26.29—30), dan doa
yang mirip dari Daniel (Dan 9, 1—19) itu pun menyinggung tentang hamba-hamba
TUHAN, "para nabi yang telah berbicara atas namaMu kepada raja-raja
kami.." (Dan 9,6).
Bahan-bahan yang terkumpul di atas ini
menunjukkan betapa besarnya penghargaan, dan betapa dalamnya rasa syukur umat
Israel terhadap anugerah Allah yang berkenan mengutus nabi-nabiNya. Agaknya
boleh juga dikatakan bahwa di sini kita berhadapan dengan salah suatu tindakan
Allah yang termasuk pada perbuatan-perbuatanNya yang "besar". Dengan
perantaraan Musa — menurut beberapa kesaksian: Musa, Harun dan Miryam — Allah
membebaskan Israel dari perbudakan di Mesir; alangkah banyaknya ucapan
alkitabiah yang memandang peristiwa ini sebagai dasar berdirinya umat itu.
Dengan perantaraan nabi-nabi lain, seperti Bileam, Debora atau Samuel, Allah
menyelamatkan umatNya dari bahaya pemusnahan. Oleh karya-karya sejarah
Deuteronomist dan Tawarikh ditekankanlah pengutusan nabi-nabi sejak Musa
terus-menerus, di mana pemberitaan mereka sewaktu-waktu memberi kenyataan bahwa
TUHAN menetapkan perjanjianNya, dan tidak meninggalkan umatNya. "Adanya
seorang nabi di Israel" (2 Raj 3, 11; 5,8) dirasai seperti tanda anugerah
Allah, sebagaimana sebaliknya ketiadaan nabi-nabi (Mzm 74,9; Rat 2,9) menjadi
tanda kemurkaan. Ucapan Amos tentang "Kelaparan akan mendengarkan firman
TXJHAN" (Am 8,11) secara tidak langsung menandakan betapa bahagianya umat
yang sewaktu-waktu sempat mendengarkan suara nabi-nabi TUHAN itu. Pencatatan,
penyalinan, pengumpulan dan penyaduran seberkas nubuat-nubuat dan
ceritera-ceritera nabi yang begitu luas, dan dikerjakan dengan begitu saksama,
seperti kita menghadapinya di dalam Alkitab, tak mungkin terjadi, jika
seandainya umat itu tidak terdorong oleh suatu penghargaan yang setinggi-tingginya
terhadap firman yang diterimanya dengan perantaraan para utusan Allah.
Sungguh-sungguhkah umat itu pada segala waktu
dan sama rata menginsafi makna perbuatan Allah dengan perantaraan
hamba-hambaNya? Beberapa kenyataan Alkitabiah memaksakan kita untuk
berhati-hati dengan kesimpulan ini! Kitab Mazmur, dengan segala puji-pujiannya
sekalipun, nyaris tak menghiraukan pengutusan para nabi sebagai pokok
kepercayaan. Nubuat-nubuat para nabi pada umumnya baru mulai diperhatikan, dan
kitab-kitab nabi baru mulai dirampungkan ratusan tahun sesudah nabi-nabi itu
tampil ke muka. Bukannya tradisi-tradisi yang tua, melainkan lapisan-lapisan
Alkitab yang lebih muda, yakni terutama bagian bingkai kitab Ulangan (Ul 4—11
dan 27—31, dari akhir zaman kerajaan) dan bingkai Karya Sejarah Deuteronomist
(dari zaman pembuangan) itulah yang mulai menekankan peranan Musa selaku nabi
yang terbesar dari TUHAN. Pengarang-pengarang pendukung
"Deuteronomisme" itu juga pernah mencetak rumus pengakuan mengenai
para nabi yang diutus TUHAN "dengan tidak putus-putusnya", sejak dari zaman Musa; kita menemuinya baik
di dalam Karya Sejarah tersebut (mis. 2 Raj 17, 13), maupun di dalam
kitab-kitab nabi yang telah diolah dan disadur oleh pengarang-pengarang itu
(mis. Yer 7, 25; 25,4; Za 7, 12). Begitu kuatlah pengaruh jenis pemandangan
masa lampau yang baru ini, sehingga para penyusun Karya Sejarah Tawarikh itu
pun mengikutinya; malah segala ringkasan sejarah keselamatan di dalam P.B.
(mis. Kis 7,35) tak urung mengenalnya.
Cukup teranglah sudah bahwa penghargaan yang
amat tinggi terhadap nabi-nabi itu merupakan suatu unsur kesaksian Alkitab yang
relatif "muda". Besar kemungkinannya bahwa peristiwa tahun 586 s.M.,
yakni pemutarbalikan Israel yang kuna, khususnya pemusnahan Yerusalem, telah
menyebabkan munculnya unsur kesaksian ini. Di tengah-tengah krisisnya yang
mengerikan itu, barulah umat itu menjadi sadar akan kesetiaan Allah yang telah
berfirman sejak dahulu, dan tetap berfirman, dengan perantaraan nabi-nabiNya.
Adalah karena dampaknya pemberitaan para nabi, bila umat itu terhibur di dalam
kemalangannya, lalu mendapat tenaga baru untuk bangun kembali; apa herannya
lagi kalau di mata generasi zaman pembuangan itu, pengutusan para nabi itu
memperoleh suatu tempat yang penting di antara segala perbuatan Allah? Memang
benarlah suara kesaksian berisi pengakuan semacam ini baru terdengar dari
lapisan-lapisan Alkitab yang agak muda. Rupanya pernyataan syukur dan
puji-pujian kepada Dia yang mengutus nabi-nabiNya itu ada saatnya sendiri di dalam
sejarah penulisan Alkitab. Namun, nyaringnya suara ini mengizinkan, malah
mendorong kita untuk mendengarkannya sebagai suara Alkitab seluruhnya.
d) Hubungan pokok ini dengan lain-lain
pokok-pokok kepercayaan Israel. Jika sesuai dengan hasil pertimbangan-pertimbangan
tadi — pengutusan para nabi pernah mulai disadari sebagai pokok pengakuan
percaya dan pokok puji-pujian Israel kepada TUHAN, maka dapatlah diterka bahwa
pokok ini bertalian juga dengan lain-lain pokok-pokok kepercayaan Israel
Gejala-gejala Alkitabiah yang membenarkan terkaan ini melimpah. Secara umum
sudah teranglah bahwa pokok pengutusan para nabi dan pokok-pokok yang lainnya
itu saling bergantung dan saling melengkapi. Dari satu pihak, kesaksian Alkitab
nyaris tidak mengenai suatu "perbuatan besar dari Allah" yang telah
berlangsung tanpa ikut sertanya nabi-nabi yang diutus Allah; Sebaliknya pula,
hal Allah mengutus nabi-nabiNya hampir selalu berkaitan dengan lain-lain
perbuatan besar dari Allah. Makna theologis dari perbuatan-perbuatan itu, artinya
sebagai pokok kepercayaan, kadang-kadang baru nyata di dalam terang pemberitaan
para nabi, sedang pemberitaan para nabi ini pada dirinya sering tak dapat
dipahami lepas dari hubungannya dengan tema-tema kesaksian Alkitab yang lainnya
itu.
Tiga di antara tema-tema yang telah dibahas
lebih dahulu ternyata mempunyai kaitan yang agak longgar saja dengan tema
Pengutusan para nabi: Penciptaan langit dan bumi, Pengangkatan raja-raja dan
Pemilihan Yerusalem. Ketiga pokok mi merupakan suatu kelompok tersendiri,
sejauh mana semuanya berlatarbelakangkan dunia Kanaan. Ketiga-tiganya adalah
"asing" bagi angkatan-angkatan Israel yang belum lama menetap di
tanah itu, dan memerlukan jangka waktu asimilasi yang cukup panjang, hingga
memperoleh tempatnya di samping dan di tengah-tengah segala pokok kepercayaan
Israel yang lebih tua.
Nabi-nabi utusan TUHAN justru memainkan
peranan penting di dalam proses asimilasi itu. Berkat pengaruh mereka
(khususnya Deutero Yesaya), barulah pokok Penciptaan langit dan bumi itu mulai dipahami
sebagai pekerjaan TUHAN, Allahnya Israel, dan oleh karena itu juga sebagai
berita keselamatan yang sungguh berwibawa bukan hanya untuk menjamin kestabilan
segala kuat kuasa di dunia, melainkan untuk menggoyangkannya pula, demi
terwujudnya dunia baru yang dikehendaki Allah. Kalau pokok Pemilihan Yerusalem,
di sini pemberitaan para nabi (terutama ialah Yes, Mi, Yer, Yes dan Za)
mengembangkan suatu pengertian baru, di mana bukannya kejayaan abadi dari kota
kudus itu lagi, melainkan keterpanggilannya diketengahkan. Pokok Pengangkatan
raja-raja itu pun — mula-mula terjalin/tersangkut dengan mite-mite orang Kanaan
yang dirayakan untuk menjamin utuhnya sistim pemerintahan mereka — berkat
pemberitaan nabi-nabi itu kini dipahami sebagai tantangan yang sekaligus kritis
dan membangun.
Kelima pokok besar dari kesaksian Alkitab
yang lainnya — maklumlah semuanya berakar di dalam sejarah purbakala Israel
sendiri — mempunyai kaitan yang lebih erat dengan pokok pengutusan para nabi.
Hal ini masih kurang begitu jelas dari bahan-bahan tradisi tentang Pemilihan
bapak-bapak leluhur, tetapi pembahasan kita telah mengungkit kenyataan bahwa
unsur kenabian itu sudah meresap di dalam bahan-bahan ini; para bapak leluhur
Israel dengan sengaja dipentaskan sebagai manusia biasa yang dipanggil dan
diutus, sambil menerima firman Allah yang berisi tantangan dan janji, sedangkan
cita-cita kepahlawanan bapak-bapak itu semakin dibelakangkan (Hos 12). —
Bahan-bahan tradisi mengenai Pembebasan dari Mesir, Pembimbingan di padang
gurun, Penyataan di Sinai dan Pemberian tanah Kanaan, semuanya nyata sekali
bercap kenabian. Allah sendiri dikatakan
membebaskan, memimpin atau dengan lain-lain cara memberkati umatNya, tetapi
segala sesuatu terlaksana dengan perantaraan hambaNya, nabi Musa. Ada kalanya
tokoh penengah ini dibantu oleh para tua-tua atau oleh Harun dan Miryam; Yosua
meneruskan tugasnya di dalam hal Pemberian Kanaan. Jelaslah bahwa Musa bukan
hanya menjadi pemimpin dan motivator utama saja. Melalui'pemberitaannya,
berbentuk perintah, hukum atau khotbah (di dalam kitab-kitab Keluaran s/d
Ulangan), ia pada ketika itu juga menggariskan "makna theologis" dari
segala perbuatan Allah; dialah yang mengalihbahasakan peristiwa-peristiwa ajaib
di Mesir, di padang gurun, di Sinai dan di Kanaan itu, sehingga menjadi
landasan kepercayaan bagi Israel. Pemberitaan nabi-nabi seperti Hosea, Yeremia,
Yehezkiel dan "Deutero Yesaya" pun bertalian erat dengan kelima pokok
besar itu. Adalah berkat penggumulan mereka, bahwa makna segala perbuatan Allah
yang dasariah itu bagi zaman pembuangan (dan secara tidak langsung, bagi segala
zaman) kini terungkap dan tersurat di dalam Alkitab.
Ringkasnya, unsur pengutusan dan pemberitaan
para nabi itu tampak kelihatan di dalam bahan-bahan Alkitabiah mengenai semua
pokok kepercayaan yang telah kita utamakan di dalam buku pegangan ini. Di
mana-mana saja unsur itu ada peranan dan fungsinya. Ada kalanya pengutusan
seorang nabi menunjukkan caranya bagaimana Allah melaksanakan perbuatanNya.
Lain kali, pemberitaan seorang nabi memberi isi atau pengarahan kepada
kesaksian tentang perbuatan itu. Dapatlah dikatakan bahwa pengutusan para nabi
itu melengkapi, memperdalam, malah sering menjungkirbalikkan kesaksian Alkitab
mengenai pokok-pokok yang lainnya. Kita akan harus menguji dengan seksama,
sampai di manakah pengutusan para nabi melewati fungsinya sebagai
"pelengkap", sehingga mungkin merupakan pokok keper¬cayaan Israel
yang berdiri sendiri.
Evaluasi
:
1. Seorang nabi
disebut juga sebagai “Utusan” Allah di
tengah-tengah bangsa-Nya. Jelaskan pengertian dan tugas sebagai utusan seorang
Nabi.!
2. Apakah yang
menjadi makna teologis kehadiran nabi-nabi bagi israel setelah peristiwa
pendudukan tanah Kanaan? Jelaskan.
3.
Apakah yang
menjadi “Credo” (pengakuan) bagi Israel atas kehadiran seorang nabi? Jelaskan
9.SEJARAH KESELAMAT DALAM PL
Pengertian Sejarah
Sejarah adalah “kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada
masa lampau”. Menurut Herodotus (Bapak Sejarah): “Sejarah ialah satu kajian
untuk menceritakan satu kitaran jatuh bangunnya seorang tokoh, masyarakat atau
suatu peradaban.” Sedangkan menurut sejarawan Baverley Southgate, pengertian
sejarah dapat didefinisikan sebagai “studi tentang peristiwa di masa lampau...
sejarah merupakan peristiwa faktual di masa lampau, bukan kisah fiktif apalagi
rekayasa.” Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa sejarah adalah
rekonstruksi masa lalu, apa yang direkonstruksi ialah apa saja yang sudah
dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh orang atau suatu
bangsa.
Pengertian Mitos
Sejarah adalah hal yang sangat kontras dengan mitos karena mitos adalah
cerita prosa rakyat yang ditokohi para dewa atau makhluk setengah dewa yang
terjadi di dunia lain (kayangan) dan dianggap benar – benar terjadi oleh
empunya cerita atau penganutnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mitos
adalah: “Cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, yang
mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa itu
sendiri yang mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib.” Dan banyak bangsa mempunyai cerita mitosnya sendiri. Contoh cerita mitos adalah
kisah “Sangkuriang dan Dayang Sumbi” dalam lingkungan masyarakat Jawa Barat.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa
cerita-cerita dalam mitos tidaklah dapat dipastikan apakah itu benar-benar
terjadi dalam lintasan sejarah. Penulis secara pribadi meyakini bahwa mitos
adalah cerita-cerita yang dikemas sedemikian rupa untuk menyampaikan suatu
pesan atau message tertentu namun cerita-cerita tersebut bukanlah suatu
peristiwa yang betul-betul terjadi dalam lintasan sejarah atau dalam artian
cerita-cerita tersebut tidak betul-betul terjadi sebagai suatu kejadian nyata.
Iman
Kristen Berakar Dalam Sejarah
Iman kekristenan bukanlah dibangun di atas
tradisi lisan atau pun suatu mitos yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya,
tetapi dibangun di atas fakta sejarah yang riil, atau suatu kejadian yang
benar-benar terjadi dan bukan cerita omong kosong belaka.
Paulus menulis bahwa setelah Yesus bangkit,
Ia menampakkan diri kepada para rasul, 500 saksi lain, dan juga kepada Paulus
(1 Korintus 15:3-8). Dengan banyaknya “saksi”[5] yang disebutkan, maka dapat
dipastikan bahwa peristiwa tersebut adalah suatu kejadian yang riil terjadi
dalam lintasan sejarah dan bukan suatu mitos.
Pengertian
Keselamatan
Menurut Ensiklopedi Alkitab Masa Kini
keselamatan berasal dari bahasa Ibrani Yesyua dan Yunani soteria, yang berarti:“tindakan atau hasil dari pembebasan
atau pemeliharaan dari bahaya atau penyakit, mencakup keselamatan, kesehatan,
dan kemakmuran.”
Selanjutnya di dalam Ensiklopedi tersebut
dijelaskan tentang pergeseran arti ‘keselamatan’ dimana dikatakan bahwa:“keselamatan dalam Alkitab bergerak dari
ihwal fisik ke kelepasan moral dan spiritual. Demikianlah bagian-bagian paling
depan PL berkembang dari menekankan cara-cara hamba Allah yang secara
perseorangan terlepas dari tangan musuh-musuh mereka, ke pembebasan umat-Nya
dari belenggu dan bermukimnya di tanah yang makmur; bagian-bagian paling akhir
PL memberikan tekanan yang lebih besar pada keadaan-keadaan dan
kualitas-kualitas keterberkatan secara moral dan religius, dan memperluasnya
sampai melampaui batas-batas kebangsaan. PB dengan jelas menunjukkan
keterbudakan manusia kepada dosa, bahaya dan kekuatan dosa, dan kelepasan dari
dosa yang hanya dapat diperoleh dalam Kristus. Alkitab memberikan
pernyataan-pernyataan yang makin lama makin jelas tentang bagaimana Allah
menyediakan dasar keselamatan, menawarkannya, dan bagaimana Dia sendiri pada
diri-Nya adalah satu-satunya keselamatan manusia.”
Dalam bukunya “Keselamatan” Carlson
mengatakan bahwa: ”Keselamatan adalah tema utama di dalam Alkitab....
Keselamatan adalah usaha ilahi yang berdasarkan kasih Allah bagi orang-orang
yang terhilang dalam dosa. Rencana keselamatan perlu karena dua fakta: pertama,
sekalian manusia terhilang. Kerusakan moral manusia pada umumnya dan kekerasan
hati yang ada dalam tiap pribadi - orang-orang berdosa karena perangainya dan
orang-orang berdosa karena pilihan – menyebabkan kita cemas dan putus asa.
Kedua, kasih Allah yang tak berubah mendorong Allah untuk bertindak. Ketika
dosa merajalela dan manusia di mana-mana telah berpaling dari Allah, ketika
hati-Nya yang penuh kasih menjadi sangat pedih karena kejahatan dan ketegaran
manusia, Allah datang untuk menyelamatkan manusia.”
Jadi, dapat dikatakan bahwa keselamatan
adalah tindakan yang lahir dari inisiatif Allah sendiri dalam rangka membawa
manusia yang berdosa kembali ke dalam rencana-Nya dan persekutuan dengan Dia
dan pengungkapan keselamatan itu dilakukan Allah secara progresif
(berkelanjutan) dan mencapai klimaksnya di dalam diri Tuhan Yesus.
Dari uraian pendahuluan di atas, maka judul
paper ini, yaitu: “Sejarah Keselamatan Dalam Perjanjian Lama” dipahami oleh
penulis sebagai upaya penjelasan tentang tindakan Allah dalam rangka
mengungkapkan rencana keselamatan kepada manusia yang telah jatuh ke dalam
dosa. Dimana tindakan penyelamatan Allah tersebut terlihat dalam lintasan
sejarah sebagai suatu kejadian nyata yang benar-benar terjadi, khususnya dalam
pengalaman kehidupan bangsa Israel dalam zaman Perjanjian Lama.
Sejarah
Keselamatan Dalam Perjanjian Lama
Ini adalah suatu upaya penjelasan tentang
pengungkapan sejarah keselamatan dari Allah dalam Perjanjian Lama secara
kronologi atau urut-berurutan dari sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa, dalam
jaman Nuh, peristiwa pemanggilan Abraham, jaman Musa ketika Taurat diturunkan,
dalam masa sebelum pembuangan dan masa pembuangan maupun setelahnya.
Keselamatan
Menurut Kitab-Kitab Pentateuch
Secara teologi dapat dikatakan bahwa sejarah
keselamatan sebenarnya telah dimulai di dalam hati Allah sejak kekekalan masa
lampau ketika alam ini belum diciptakan, karena Allah adalah pribadi yang
sanggup melihat tentang apa yang akan terjadi di kemudian hari sebelum dunia
ini diciptakan
Tetapi untuk kepentingan praktis pembelajaran
dalam paper ini, penulis menyebutkan saja bahwa sejarah keselamatan dimulai
sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa. Sebab di dalam Bab I penulis telah
membatasi pengertian sejarah dalam ruang lingkup waktu dan peristiwa yang
terjadi di dunia ini dan bukan dalam alam kekekalan.
Dalam
Kisah Kejatuhan Manusia Pertama ke Dalam Dosa
Sejarah keselamatan tidak dapat dipisahkan
dari kejatuhan manusia ke dalam dosa. Fakta bahwa manusia telah jatuh ke dalam
dosa menunjukkan bahwa manusia membutuhakn keselamtan dari Allah. Dalam hal ini
Timothy Joshua berkata: “Fakta dosa terbukti dalam Kejadian 3, dosa
mengakibatkan perubahan radikal dalam hubungan manusia dengan Allah....Dosa
adalah realitas, menentang Allah dan perintah-Nya. Manusia menjadi musuh
Allah....”
Pada saat manusia jatuh ke dalam dosa, Allah
bukan saja menghukum mereka, tetapi Allah juga memberi janji keselamatan yang
pertama kepada manusia dalam Kejadian 3:15. Janji keselamatan yang pertama itu
sering disebut dengan istilah ‘protevangelium’. Senada dengan ini, Yakob
Tomatala berpendapat bahwa:
Setelah episode kejatuhan Adam ke dalam dosa,
“proto-evangelium” diproklamirkan Allah (Kejadian 3:15). Proklamasi
protevangelium ini merupakan gambaran tentang sikap Allah yang konsisten
terhadap rencana misi shalom-Nya. Protevangelium ini berkaitan erat dengan
mandat misi Allah yang dihadapkan pada kenyataan dosa yang telah menguasai dan
merusak hakikat kemanusiaan Adam serta segenap umat manusia (yang sama-sama
telah berdosa di dalam Adam, Banding: Roma 5:12, 18-19).”
“Secara “lexical”, proto-evangelium dijelaskan
sebagai berasal dari kata pro (protos yang berarti first), yaitu prefiks yang
artinya “sebelum, mendahului atau lebih dahulu”, dan evangelium atau euangelion
yang berarti, “kabar baik” atau Injil. Istilah protevangelium ini merujuk kepada
“kabar baik” dari Allah, yaitu “janji keselamatan” yang paling pertama di dalam
Kejadian 3:15 dimana Allah bersabda, “Aku akan mengadakan permusuhan antara
engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya, keturunannya
akan meremukkan kepalamu dan engkau akan meremukkan tumitnya.” Janji
keselamatan ini diberikan, tatkala dosa telah masuk ke dalam dunia (Kejadian
3:1-7); Roma 5:12, 14, 18a, 19a).”
Di kemudian hari, protevangelium yang
menunjuk kepada keturunan perempuan yang akan menjadi jalan keselamatan bagi
manusia yang telah jatuh ke dalam dosa tersebut kemudian ditafsirkan oleh
Paulus sebagai menunjuk langsung kepada Kristus (Galatia 4:4). Penafsiran
Paulus tersebut menegaskan bahwa protevangelium menempatkan Tuhan Yesus Kristus
sebagai pusat keselamatan manusia dari dosa.
Dalam Kisah Nuh
Pembuatan Bahtera pada zaman Nuh menunjukkan
suatu perbuatan yang baik tentang rencana penyelamatan Allah. Namun walaupun
ada rentang waktu seratus tahun lebih lamanya untuk bertobat, kesempatan ini
tidak dimanfaatkan oleh manusia. Akhirnya sebelum air bah tiba, Allah
memerintahkan Nuh dan keluarga, termasuk binatang-binatang agar segera masuk ke
dalam bahtera. Lalu air bah turun dan semua yang ada di luar bahtera mengalami
kebinasaan. Allah ingat akan Nuh, dan berjanji tidak akan menghukum manusia
lagi dengan air bah.
Dalam khotbah-Nya, Tuhan Yesus sendiri
memakai peristiwa masa Nuh sebagai gambaran tentang keadaan manusia di akhir
zaman (Matius 24:37-42). Di mana sekalipun Allah seperti pada zaman Nuh telah
memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertobat, tetapi kebanyakan mereka
tidak mempergunakan kesempatan tersebut. Petrus menyebutkan bahwa kesabaran
Allah yang ditunjukkan kepada manusia berdosa adalah dalam rangka untuk memberi
kesempatan kepada mereka untuk bertobat (2 Petrus 3:9).
Berdasarkan peristiwa air bah pada zaman Nuh
tersebut, dapat terlihat, bahwa Allah adalah pribadi yang murah hati yang
memberikan kesempatan kepada manusia yang berdosa untuk bertobat. Tetapi bagi
mereka yang tidak mempergunakan kesempatan tersebut pada akhirnya akan
menghadapi penghakiman Allah yang kekal.
Dalam Pemilihan Abraham
Abraham berasal dari garis keturunan Sem yang
mempunyai latar belakang keluarga yang menyembah banyak dewa. Dua dewa terkenal
yang disembah oleh nenek moyang dan masyarakat di mana Abraham tinggal adalah
dewa bulan “Sin” dan dewi “Ningal”. Jadi dapat dipastikan bahwa pilihan Allah
pada Abraham dalam rangka mengemban rencana Allah lebih lanjut untuk masa yang
akan datang, khususnya membangun bangsa Israel pastilah bersumber pada
anugerah, dan inisiatif dari Allah sendiri, karena Abraham dipilih bukan karena
ia lebih istimewa dibandingkan dengan orang-orang sezamannya.
Berdasarkan Kejadian 12:3; 22:18 dan 26:4,
maka terlihat bahwa janji Allah kepada Abraham ada tiga: (1) keturunannya akan
mewarisi tanah perjanjian; (2) mereka akan menjadi bangsa besar; (3)
bangsa-bangsa akan mendapat berkat karena keturunannya. Janji itu kemudian
diberi tanda melalui sunat (Kejadian 17:9-14).
Kembali Paulus menafsirkan bahwa keturunan
Abraham yang olehnya semua bangsa akan mendapat berkat menunjuk langsung kepada
Kristus sendiri (Galatia 3:16). Artinya, kembali ditegaskan bahwa Tuhan Yesus
sendiri menjadi pusat keselamatan Allah.
Dari uraian-uraian tersebut, dapatlah
dikatakan bahwa sejarah keselamatan dari sejak peristiwa kejatuhan manusia ke
dalam dosa di Taman Eden sampai jaman para patriakh adalah masih dalam bentuk
benih janji yang kelak akan digenapi di dalam Kristus dan rencana keselamatan Allah
bukan terbatasi oleh sekelompok orang atau bangsa tertentu saja, melainkan
mencakup semua bangsa.
Dalam Periode Musa (Periode Taurat
Diturunkan)
Sejarah keselamatan dalam periode ini
terungkap dalam berbagai upacara keagamaan/ibadah di seputar Kemah Suci, maupun
melalui hari raya-hari raya umat Israel.
Upacara-upacara keagamaan/ibadah bangsa
Israel dikelompokkan menjadi dua: (1) upacara-upacara pengudusan, (2) ibadah
upacara korban yang meliputi: korban bakaran, korban sajian, korban keselamatan
dan korban penebus salah atau penghapus dosa.
Upacara-upacara pengudusan jelas terlihat
dalam berbagai peristiwa, misalnya: diatur bagaimana caranya orang mentahirkan
diri jika terkena binatang haram atau bangkai, dan bagaimana mereka dapat
mentahirkan diri setelah masa haid, bagaimana mereka mentahirkan diri setelah
pulih dari sakit kusta dan sebagainya. Satu peristiwa yang bersangkut paut
dengan itu misalnya pada waktu Musa turun dari gunung (Keluaran 19:14), ia
menyuruh bangsa itu mencuci pakaian mereka dan menguduskan diri, sehingga
mereka siap untuk mendengar suara Allah. Konteks peristiwa itu menunjukkan
bahwa Israel mengakui akan kekudusan Allah dan perlunya mereka mempersiapkan
diri/mentahirkan diri untuk menghampiri-Nya. Artinya, bagi orang Israel, “tahir”
terutama berarti “memenuhi syarat untuk menghampiri Allah”.
Namun pada akhirnya, toh bangsa Israel
menyadari ketidakmampuan upacara-upacara itu untuk menghasilkan kekudusan yang
dilambangkannya. Hal senada juga diungkapkan oleh Dyrness, ia mengatakan : “Akan
tetapi pada akhirnya, terlihat ketidakmampuan
upacara-upacara itu untuk menghasilkan kekudusan yang dilambangkannya.
Sejak awal telah diakui bahwa pentahiran hanya datang dari Allah. Pada zaman
Raja Daud, upacara-upacara ini adalah ungkapan kekudusan batiniah yang berasal
dari pengaruh Allah atas hati manusia
sendiri.”
Hal ini menjadi dasar yang kuat bagi kita
untuk menegaskan bahwa usaha manusia yang bersifat agamawi tidak dapat membuat
mereka masuk ke dalam keadaan yang layak di hadapan Allah yang maha kudus.
Kelayakan tersebut sepenuhnya datang dari Allah.
Selanjutnya untuk upacara korban Dyrness
berpendapat bahwa,: “upacara korban dalam Perjanjian Lama berpusat pada kata
kerja bahasa Ibrani kipper yang biasanya diterjemahkan dengan “mendamaikan”
atau “menutupi” (Imamat 1:4). Arti dasarnya barangkali “menutupi” atau
“menghapuskan”. Atau kata kerja ini menunjuk kepada proses penebusan atau
pendamaian dengan membayarkan sejumlah uang atau upeti, yang mencerminkan arti
kata benda Ibrani koper (“harga tebusan”). Berdasarkan konteks alkitabiah
(terutama Imamat 17:11), arti terakhir ini paling tepat mencerminkan konsep
Ibrani.”
Dari pengertian tersebut dapatlah dikatakan
bahwa korban-korban yang dipersembahkan oleh Israel kepada Allah dalam Perjanjian
Lama adalah merupakan pengganti (substitusi) nyawa mereka sendiri. Gagasan ini
jelas terlihat dalam peristiwa korban-korban yang dicurahkan darahnya. Dalam
hal ini, darah bukan unsur yang mengandung tenaga gaib, tetapi diterima Allah
sebagai pengganti nyawa orang yang beribadah itu.
Namun, pada akhirnya terlihat bahwa semua
ketentuan peribadatan Perjanjian Lama bersifat sementara. Ia harus selalu
diulang-ulang. Penulis kitab Ibrani selanjutnya menyebutkan bahwa tindakan
peribadatan ataupun korban-korban yang dipersembahkan secara berulang-ulang di
dalam Perjanjian Lama justru menunjukkan bahwa korban tersebut sama sekali
tidak dapat menghapuskan dosa. Itu sebabnya, diperlukan suatu pengorbanan yang
sempurna yang hanya satu kali dilakukan dan hal itu menunjuk kepada Kristus
sendiri (Ibrani 10:11-12).
Selanjutnya hari raya-hari raya Israel
melukiskan tentang tindakan penyelamatan Allah di dalam waktu yang pernah
mereka lalui. Paskah misalnya merupakan hari raya yang dilakukan sebagai
peringatan terhadap tindakan penyelamatan yang dilakukan Allah terhadap Israel
dari perbudakan Mesir. Dengan hari raya-hari raya tersebut, Israel memperingati
bahwa Tuhan yang telah melepaskan mereka di masa lampau.[16] Uniknya, 1
Korintus 5:7 menyebutkan secara jelas bahwa domba Paskah itu menunjuk kepada
diri Kristus sendiri.
Jadi di sini pun jelas terlihat bahwa baik
upacara keagamaan maupun hari raya-hari raya yang diwajibkan kepada Israel pada
masa Musa (diturunkannya Taurat) merujuk kepada keselamatan yang akan datang
atau diwujudkan kelak di dalam Tuhan Yesus Kristus.
Pada
Masa Sebelum Pembuangan
Pada masa Yosua sampai sesaat sebelum
pembuangan dapat dilihat tindakan keselamatan Allah kepada bangsa Israel dalam
bentuk penaklukan dan pemberian tanah Kanaan serta kemenangan atas musuh-musuh
mereka. Dalam periode ini Allah membangkitkan tokoh-tokoh kepemimpinan yang
dipakai sebagai sarana kelepasan, seperti: hakim-hakim, imam, raja, dan nabi.
Setelah jaman Yosus Alkitab menguraikan
tentang kehidupan bangsa Israel yang penuh kegagalan, dan berbuat dosa. Israel
berulang kali jatuh ke dalam dosa, penyembahan para baal dan asytoret (1 Samuel
12:9-11), sehingga akhirnya mereka mengalami penindasan dari orang-orang asing.
Setelah Israel bertobat operasi penyelamatan Allah dimulai entahkah itu dengan
membangkitkan hakim-hakim, raja, dan nabi. Namun siklus kejatuhan Israel
terulang kembali sampai akhirnya mereka dibuang, kerajaan Utara di buang ke
Asyur dan kerajaan Selatan (Yehuda) di buang ke Babel.
Pada
Masa Setelah Pembuangan
Bangsa Yahudi tinggal di Babel selama 70
tahun (2 Tawarikh 36:21). Allah ingat akan umat-Nya yang di pengasingan,
melalui Koresy raja Persia, yang mengijinkan bangsa Yahudi kembali ke
Yerusalem. Tugas mereka adalah membangun kembali Bait Allah (Ezra 2:8). Rakyat berbakti
kepada Allah menurut Taurat yang diajar oleh Ezra, kemudian Ezra dan Nehemia
mengadakan kebangunan rohani (Nehemia 8:2, 8; 9:1-3; 13).
Sekalipun pada masa ini, yaitu pada masa
Ester Israel diselamatkan dari tindakan penyelamatan Allah dari rencana
pembinasaan massal, tetapi pada masa ini mulai tumbuh suatu semangat di
kalangan Israel akan “pengharapan Mesianis”[17] sebagai akibat berita para nabi
pada jaman itu. Pesan para nabi tersebut adalah bersifat:
“membimbing kepada ramalan tentang keselamatan
mesianis yang apokaliptik, bila Allah, sesuai janji-Nya, akan datang sendiri
dalam keselamatan sebagai Allah yang adil dan Juruselamat (Yes 44:17; Dan
7:13). Ajaran PL tentang keselamatan mencapai puncaknya dalam gambar Hamba yang
menderita (lih Yes 53); dalam hal ini, PL menyediakan adegan untuk keselamatan
dalam PB.”
Evaluasi
:
1.
Apakah
hubungan sejarah kelepasan Israel dengan sejarah kerajaan Allah
2.
Bentangkan
dengan singkat sejarah kerajan Allah dalam dunia Perjanjian Lama
3.
Jelaskan etimologi
‘Keselamatan’ dalam Perjanjian Lama
4.
Apakah
mitos-mitos keselamatan dalam PL? Jelaskan
5.
Bagaimanakah
sikap orang Israel sebagai orang yang sudah diselamatkan? Jelaskan
9.Yerusalem (Sion) Dalam Kepercayaan Israel
Yerusalem (Sion) dipilih dan ditetapkan Allah
sebagai gunung milikNya, tempat kehadiranNya dan pusat kerajaanNya di atas
bumi, sekadar untuk memberikan umatNya suatu dasar teguh dan tempat
perlindungan yang mantap. Allah mengangkat hambaNya, Daud, dan para raja
lainnya di Sion, seka¬dar untuk menjadikan kota itu suatu teladan bagi umat
yang bermasyarakat secara merdeka, adil, bijaksana dan rukun. Allah berkenan
menerima Bait Suci di Sion sebagai tempat kehadiranNya yang khusus, sekadar
untuk menjadi sembahan tunggal bagi umatNya di sana, dan untuk menguduskan umat
itu sebagai jemaah yang berbakti kepadaNya. Allah menghukum Yerusalem yang
telah memberontak kepadaNya, sekadar untuk memperbarui kota itu, hingga menjadi
induk umatNya yang baru, terkumpul dari antara Israel dan bangsa-bangsa
lainnya, di dalam dunia yang baru.
Kota Suci ini memang tak dapat diragukan
bahwa ia mempunyai suatu tempat yang luang sekali di dalam kepercayaan Israel,
makanya di dalam kesaksian Alkitab juga, Dengan disebutnya Yerusalem 669 kali,
Sion tepat 200 kali di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama, maka jelaslah bahwa
tidak ada sua¬tu kota, tempat atau gunung kramat lain yang memainkan peranan
yang sepenting itu; jumlah penggunaan nama tanah Kanaan pun kalah dengan jumlah
penggunaan nama Yerusalem. Kenyataan statistik ini ada sebabnya yang tertentu.
Bahwa Allah pemah "memilih " Yerusalem
sebagai kotaNya sendiri, sebagai "kota Suci", hal ini berulangkali
ditegaskan oleh kesaksian Alkitab. Antara Allah dan Yerusalem terdapat suatu
hubungan "cinta" yang tak kurang mesranya dari hubunganNya dengan
umat Israel, atau dengan Abraham dan Daud sebagai wakil-wakil umat itu. Kitab
Ulangan sering berbicara tentang "tempat yang akan dipilih TUHAN" (Ul
12,5.11 dst, 22 kali!), dan rumus ungkapan ini acap kali muncul pula di dalam
bentuk kesudahan, di mana Yerusalem dinyatakan sebagai tempat atau kota
"yang telah dipilih oleh TUHAN" (1 Raj 8,44; 11,13; 14,21; 2 Raj
21,7; 23,27 dst). Kesaksian yang serupa terdengar dari kitab Mazmur (Mzm 78,68;
132,13), pun dari kitab-kitab para nabi (Zak 1,17; 2,12; 3,2). Nyaris tidak
terhitung jumlah ungkapan-ungkapan lain yang menyatakan kota itu sebagai milik
Allah secara khas. Serasa pada tempatnyalah kalau hal "memilih
Yerusalem" ini, kita pandang sebagai salah satu "perbuatan besar
Allah, setingkat dengan perbuatan-perbuatan lainnya yang tercantum di dalam
"Credo" umat Israel. "Pemilihan" Sion itu sungguh-sungguh
merupakan andalan dan pokok kepercayaan yang selayaknya dibatas tersendiri,
serentetan dengan lain-lain pokok kepercayaan Israel. Kebijaksanaan ini
dibenarkan pula oleh hasil-hasil ilmu Perjanjian Lama modern, di mana
"tradisi Sion" itu sudah biasa dipandang sebagai unsur yang sangat
berpengaruh di dalam proses penulisan Alkitab.
Dalam pada itu ada baiknya kita mengikuti apa
yang telah dilakukan, yakni dengan mengamati keterkaitan pokok Sion ini dengan
lain-lain pokok kepercayaan. Tinjauan ini akan menunjukkan, sejauh manakah
pokok kita berdiri sendiri atau terjalin dengan pokok-pokok lainnya, serta
menyumbangkan nadanya sendiri di dalam koor kesaksian Alkitabiah seluruhnya.
Allah memilih Sion perbuatan Allah ini tak
dapat dipikirkan, lepas dari perbuatanNya selaku Dia yang mengangkat raja-raja,
terutama dengan memilih hambaNya, Daud (bnd 2 Taw 6,6; 1 Raj 8,16).
Pengangkatan raja-raja itu merupakaa salah satu maksud Allah di dalam memilih
Yerusalem. Namun di lain pihak lagi, pengangkatan raja-raja itu pun tak dapat
dipikirkan seakan-akan berdiri sendiri, terlepas dari maksud Allah dengan kota
kerajaan itu. Lain tekanan pada peng¬angkatan, tugas dan pelayanan raja, lain
lagi tekanan tradisi Sion kepada kota, masyarakat dan jemaah yang dipelopori
oleh raja itu!
Relasi antara pokok Sion/Yerusalem dengan
pokok Penciptaan Langit-dan-Bumi tidaklah begitu nampak pada pemandangan
pertama. Namun kedua pokok itu sebenarnya cukup berdekatan, malah terjalin satu
sama lain. Allah selaku Raja dan Mukhalik semesta alam justru menerima
puji-pujian di dalam Bait Suci di Yerusalem (bnd Mzm 93; 96-99), dan dari kisah
tentang pertemuan Abraham dengan Melkisedek, raja Salem itu (Kej 14, 18-20),
teranglah bahwa pokok puji-pujian ini telah dikenal di Yerusalem, sebelum
Israel mulai membiasakannya. Berdasarkan tradisi ibadah setempat sejak zaman
purbakala, kalau Yerusalem diluhurkan sebagai tempat kediaman "Sang
Mahatinggi, Pencipta langit dan bumi", malah sebagai "pusat seluruh
dunia".
Naskah dari Kej 14 tadi sekaligus membuktikan
adanya suatu kaitan antara tradisi Sion dengan tradisi Pemilihan Bapa-bapa
Leluhur, khususnya dengan tradisi Abraham yang memang berakar di pegunungan
Yehuda itu. Dari segi ilmu sejarah, bapa-bapa pendahulu Israel tentulah tak
berani menginjak kota-kota berkubu milik orang Kanaan. Namun dari sudut
pemandangan Isra¬el pada zaman raja-raja dan lebih kemudian, pemilihan
bapa-bapa itu pastilah ada hubungannya dengan pemilihan Sion. Tempat
mempersembahkan korban di atas bukit Moria (Kej 22,1-19) pernah
diidentifikasikan dengari bukit Sion, yakni tempat didirikannya Bait Suci di
kemudian hari (2 Taw 3,1). Patut diperhatikan pula, betapa hangatnya segala
janji Allah kepada bapa-bapa leluhur, tatkala kehadiranNya di Sion semakin
dipertanyakan oleh nasib kota itu di bawah penjajahan asing.
Antara tradisi Sion dengan tradisi
Keluaran-dari-Mesir, tradisi Pembimbingan di Padang Gurun dan tradisi Pemberian
Tanah Kanaan itu mula-mula tidak ada pertalian apa pun juga; seorang nabi,
putera Yerusalem seperti Yesaya, terkenal karena bungkemnya mengenai
pokok-pokok itu. Heran sekali, seabad lebih kemudian, nabi Yeremia telah
menyadari makna tradisi-tradisi tua itu, justru bagi kerajaan Yehuda dan
Yerusalem. Pemberitaan nabi-nabi dari Israel Utara (Hosea) mungkin sekali
berpengaruh dalam pada itu. Beberapa Mazmur dan Kidung, yang berasal dari Sion,
turut menyatakan kesadaran bahwa kebesaran Sion itu semata-mata berdasar kepada
perbuatan-perbuatan penyelamatan oleh Allah semasa kelahiran umat Israel (Mzm
114;Kel 15,13. 17.18; Mzm 76,7!).
Salah satu pokok kepercayaan Israel yang
kemudian dihubungkan dengan tradisi Sion, ialah Penyataan di Bukit Sinai.
Alangkah jauhnya bukit Si¬nai dari bukit Sion, alangkah besarnya perbedaan
antara maksud kehadiran Allah di kedua tempat kramat itu! Tema tradisi Sinai —
yakni hal mengajarkan dan memelihara hukum Taurat, mula-mula belum ada
memainkan peranan di dalam tradisi Sion, bnd Mazmur Mazmur Sion seperti Mzm 46;
48; 76 dan 84. Selambat-lambatnya sejak kebangunan rohani yang muncul pada
zaman Bait Suci kedua (bnd kitab-kitab Ezr, Neh!), keadaan ini sudah berubah:
Yerusalem justru menjadi pusat penyiaran hukum Taurat (bnd 1 Raj 8,54-61), dan
bangsa-bangsa asing pun diharapkan akan berziarah ke sana untuk menerima
pengajaran (Yes 2,1-5, Mi 4,14).
Kita dapat membedakan tiga babak-sejarah
besar, dimana Yerusalem berturut-turut diduduki dan dikuasai oleh
berbagai-bagai bangsa.
-
Babak pertama, yakni ke-1000 tahun berdirinya sebelum Daud berhasil
merebut kota-benteng bernama “Yebus” atau “Kubu pertahanan Sion”, “Salem” atau
“Yerusalem” sekitar 1000 s.M dari tangan orang Yebus. Dalam babak ini Yerusalem
masih kecil, meskipun wilayah kekuasaannya terkadang cukup luas.
Babak kedua, bahwa Daud dan Salomo telah menjadikannya Ibukota bgi ke-12
suku yang kini baru bersatu secara nyata itu; kerajaan “Israel Raya” menguasai
bangsa-bangsa asing sebagai bawahan yang membayar upeti. Kerajaan itu segera
pecah dua (930 s.M) makanya Yerusalem “turun derajat” menjadi ibukota kerajaan
Yehuda saja. Peranan Yerusalem dalam babak kedua ini dikatakan menjadi “kota
kerajaan orang Israel”.
Babak ketiga, kedaulatan Yahudi atas Yerusalem pernah direbut kembali
oleh kaum Makabe (165-63 s.M) tetapi abad kemerdekaan ini merupakan selingan
yang terlalu singkat saja. Kitab-kitab Perjanjian Lama hanya mengetahui tentang
penjajahan Yerusalem yang berlaku terus-menerus; pembebasannya diharapkan akan
datang, namun sebagai peristiwa ajaib diseberang sana.
Bentuk kota Yerusalem letaknya pada ujung
Utara pengunungan Yehuda, di atas batas air antara lerengnya ke Barat disatu
pihak, dan lerengnya yang terjal ke Laut Mati di lain pihak lagi. Kota itu
sendiri terletak diatas dua bukit panjang-panjang yang
turun sejajar dari Utara ke Selatan dan dari Barat ke Timur.
Lembah-lembah yang curam membatasi Yerusalem: lembah Kidron dari sebelah Timur,
lembah Hinom dari sebelah Selatan dan Barat-daya. Bagian kota yang tertua
bertempat diatas ujung Selatan dari bukit kota sebelah Timur ; “Yebus”, “Kubu
Sion” / “Kota Daud” berukuran kecil sekali .
Antara pokok pemilihan Sion dan pokok
Pengutusan-para-Nabi terdapat relasi
yang rada peka. Yerusalem, sebagai kota kerajaan dengan tempat kramatnya,
barangkali sudah mempunyai nabi-nabi sejak berabad-abad, sebelum orang-orang
Israel memasukinya. Tetapi nabi-nabi itu nyaris berbuat lain daripada
memuliakan Yerusalem, serta menunjang kepentingan para raja dan imamnya, bnd
ucapan-ucapan Natan (2 Sam 7,3) dan Hananya (Yer27~28). Para nabi yang diutus
TUHAN justru menentang mempersalahkan kesombongan Yerusalem. Dengan dilengkapi
dengan suara mereka yang berisi kritik, penghukuman dan pembaruan, barulah
tradisi Sion itu itu mendapat bentuk dan isinya yang alkitabiah.
Dengan tinjauan ini jelaslah kiranya bahwa
pokok pemilihan Sion itu cukup berkait dengan berakar di dalam keseluruhan
pokok-pokok kesaksian Alkitab.
Segi dari pokok ini akan berturut-turut
meminta perhatian kita. Allah, Sang Maha-tinggj, berkenan hadir secara khusus
dan ajaib di dalam kota, di atas "gunungNya yang kudus" itu; segi
pertama ini akan diuraikan. — Allah mengangkat rajaNya di Sion (Mzm 2,6) serta
menjadikan kota itu suatu masyarakat yang "penuh keadilan" (Yes
1,21), suatu tempat yang melimpah dengan "hikmat dan pengetahuan"
(bnd Yes 33,6); segi kedua ini akan dibahas. —Sion/Yerusalem sebagai tempat
didirikannya Bait Suci, di mana Israel beribadah dengan puji-pujian, doa dan
persembahan korban kepada TUHAN, adalah pokok uraian. — Akhirnya, bagian ini
berkenaan dengan pemulihan dan penyempurnaan segala maksud Allah dengan kota
yang dipilihNya itu.
Evaluasi
:
1.
Apakah nama
lain Yerusalem dalam Perjanjian Lama? Sebutkan
2.
Mengapa
disebut Yerusalem itu sebagai Pusat Ibadah?Jelaskan
3.
Mengapa pula
dikatakan bahwa Yerusalem sebagai pusat pemerintahan? Jelaskan
4.
Bagaimanakah
keadaan sosial, politik, dan ekonomi kota Yerusalem pada jaman PL dan pada PB?
Jelaskan
5.
Apakah
“Credo” Tuhan terhadap Yerusalem? Jelaskan
Artikel,
“Shalom : Paradigma Holistis dalam Perjanjian Lama”
Oleh ; Gideon Imanto Tanbunaan, Ph.D*
Dalam
dekade ini istilah shalom di antara kaum Kristiani makin populer digunakan
sebagai ucapan pembuka dalam pertemuan-pertemuan. Akan sangat menarik jika si
pengucap ditanyakan pemahamannya tentang ucapan shalom. Dugaan saya, jawabannya
akan sangat umum bahkan mungkin “kabur” sama sekali. Pemahaman makna sebenarnya
akan memberi bobot Alkitabiah yang pasti berdampak besar dalam pandangan
teologi, termasuk pandangan misiologis seorang yang mengucapkannya. Inilah salah
satu sebab mengapa tulisan ini dibuat.
Istilah
shalom memiliki kesamaan dengan ucapan pembuka “Asalamu alaikum wa rahmatulah
wa barakatu” diantara saudara kaum Muslim.
Penelitian
tentang paradigma shalom akan bermanfaat sebagai salah satu “common-ground
teologis” yang bermanfaat dalam dialog antar Muslim-Kristiani. Motif berdialog
dengan alasan di atas berbeda dengan motif dialog yang saat ini berkembang
yaitu membina komunikasi karena adanya benturan-benturan keras antara
Muslim-Kristiani. Di sini kami hanya bermaksud meneliti istilah shalom saja.
Penelitian pemahaman ucapan salam dalam agama Islam merupakan studi tersendiri
dan tidak akan kami bahas.
Tulisan
berikut ini mencoba menggelar makna shalom yang terekam dalam Perjanjian Lama
dengan fokus holismenya. Pemahaman ini dimaksudkan untuk menjembatani pola
pikir
kaum
Kristiani yang lebih cenderung dikotomis, yaitu membagi alam - dunia menjadi
rohani dan jasmani, yang profan (profane) dan yang sakral ketimbang menyeluruh
atau holistis.
Kata
Ibrani Shalom yang diterjemahkan dalam Septuaginta dengan kata Yunani eirene.
Meskipun sebenarnya shalom merupakan sebuah kata yang komprehensif dan cakupan
maknanya lebih dari pada makna eirene yang diterjemahkan dengan “damai”.
Artinya lebih bersifat negatif, menunjuk ketiadaan atau akhir perang. Jadi,
apakah arti positif dari shalom? Bagaimana hubungannya dengan holism? Bagaimana
hubungannya dengan misi? Bagaimana shalom didefinisikan akan berakibat pada
konklusi diskusi dari subyek lain yang berhubungan. Ketidak hati-hatian akan
membawa kepada kebingungan. “Penggunaan hati-hati hermeneutik merupakan suatu
keharusan.” Kata Ibrani shalom adalah sebuah kata dengan multi-arti (Ibid,
163). Ini dikarenakan penggunaannya yang begitu luas, yang diselubungi oleh
ketidakjelasan.
Untuk
menyelesaikan masalah ini, teolog seperti Gerhard von Rad, misalnya, telah
menggunakan sebuah metodologi yang memposisikan makna akar kata dan bekerja
untuk memahami nuansa istilah atas dasar tema pokoknya (Yoder, 1992: 4). Selain
melakukan studi kata shalom itu sendiri, metode dalam tulisan ini juga akan
berinteraksi dengan pekerjaan dari beberapa penulis tentang shalom seperti von
Rad, Eisenbies, Good, Westermann, Durham, Gerlemann, Gillet, Evans, Mauser dan
Yoder yang mana sebagian atau keseluruhannya menggunakan metode von Rad dalam
studi mereka. Tulisan ini memberi perhatian pada perspektif Perjanjian Lama
atas shalom. Istilah eirene dan konsep Perjanjian Baru tentang “damai” tidak
akan dibahas. Kata benda shalom muncul 235 kali dalam teks Perjanjian Lama
Masoret, penghitungan kamus-kamus standard tidak banyak perbedaan (Mauser,
1992:13).
1.Shalom
sebagai keseluruhan, kesejahteraan dan harmoniStudi ini dimulai dengan shalom
sebagai keseluruhan, kesejahteraan, dan harmoni, fokus pada konsep holistis
sebagai pendahuluan. Kemudian akan dibahas pembahasan utama dalam tulisan ini,
shalom dalam hubungannya dengan Allah, diri sendiri, orang lain dan alam
semesta atau ciptaan.
1.1.
Keseluruhan shalom
Sebagian
besar sarjana biblika akan setuju dengan makna akar kata (sh-l-m) Ibrani shalom
yang mencakup tiga ide: “totality (the adjective shalem is translated ‘whole’),
well-being, and harmony.” (Evans, 1950:165). Arti lain dari makna akar kata
adalah: “to be whole, uninjured, undivided, intactness, compensation.” Claus
Westermann mengungkapkan sebagai
berikut:
“Untuk membuat sesuatu komplet, untuk membuat sesuatu menyeluruh atau
holistis.” (1992:19). Semua cakupan arti shalom ini telah dirinci khususnya
oleh Pederson yang mengatakan, “shalom designates at the same time the
entirety, the fact of being whole, and he who is whole.” (Dikutip oleh
Westermann 1992:45). Bagaimana keseluruhan shalom dinyatakan?
1.1.1.
Shalom, Profan dan Sakral
Arti
dasar shalom adalah kesejahteraan material dan jasmani. Penggunaannya muncul
dalam pengertian konteks sekular, yang mempunyai tekanan yang kuat pada sisi
material (von Rad 1964:402). Kita melihat ini, contohnya, dalam arti salam
(Kej. 29:6), keberuntungan orang-orang fasik (Maz. 73:3), yang berarti their unwarranted
material prosperity and bodily health (Yer. 6:14; Yes. 57:18f). Gerhard von Rad
percaya bahwa “shalom manifest itself in the form of external well-being.”
(Ibid, 406). Ini juga diekspresikan dalam lingkup politik dan militer, seperti
dalam waktu perang atau damai (Peng. 3:8; 1 Raj. 2:5; 20:18) dan keamanan
negeri (Im. 26:6) (Mauser, 1992:16). Shalom adalah sebuah konsep sosial. Ini
“secara umum lebih menunjuk kepada sebuah kemakmuran sebuah kelompok dari pada
individual.” (von Rad 1964:402).
Ini
berkaitan dengan kesejahteraan sebuah komunitas atau sebuah bangsa dalam
menikmati kemakmuran. Shalom mencakup banyak area kehidupan, ini menunjuk
kepada
semua
perbedaan-perbedaan dari segi-segi okayness yang merupakan hasil dari kehidupan
komunitas yang baik. Westermann menyatakan seperti ini: Shalom as the
well-being of a community always includes all circles, all aspects of
existence. The meaning of the word lies
precisely
in the fact that it is able to encompass all areas of life. That is most evident
in the use of shalom in the greeting, one of the most important if not the most
important group of usages. At issue in the greeting is existential wholeness in
the fullest sense (1992: 23-24).
Pernyataan
Westermann mengakui bahwa keseluruhan shalom harus mencakup komponen keagamaan
maupun aspek kehidupan, meskipun dia menekankan “deemphasizes its religious
content ehich others have seen as a component of the basic meaning of the
term.” (Yoder 1992:7). Shalom juga merupakan konsep keagamaan (Gillet, 163).
Ini mencakup yang sakral dari Yahweh sendiri. “Ini merupakan pemberian Yahweh .
. . (bagi) semua kebaikan dan nilai-nilai yang berhubungan dengan shalom selalu
menunjuk kepada Yahweh Israel, baik itu dalam doa mereka, atau dalam pengakuan
bahwa semua itu merupakan pemberianNya” kata von Rad (1964:403).
Kata
shalom dalam banyak konteks Perjanjian Lama secara khusus menunjuk kepada
pusaran iman Israel kepada Yahweh (Mauser, 1992: 18). Berkat dan salam adalah
sangat berhubungan. Shalom adalah sesuatu yang dirindukan untuk diberikan
kepada penerimanya. Berkat bagi keseluruhan komunitas Israel. “Tuhan . . .
memberimu shalom” (Bil. 6:24-26) diminta oleh Imam Harun. “Koleksi hukum
Perjanjian Lama demikian juga kitab-kitab hukum di Timur Tengah kuno diakhiri
dengan sifat peraturan dalam pernyataan tentang berkat bagi yang memelihara dan
kutuk bagi yang melanggar, contohnya, Im. 26:3-13. Bagian ini menunjukkan
bagaimana shalom tanpa ketaatan kepada Allah adalah sesuatu yang mustahil.”
(Ibid, 18-19). Shalom ketika digunakan dalam arti penuh adalah sebuah istilah
keagamaan (von Rad, 1964: 403). Good setuju, “it is a religious term: In the
Old Testament, peace of any kind is a wholeness determined by and given by
God.” (705). Sedangkan Gillet menekankan khususnya penggunaan dalam arti
religious sebagai hal yang mendasar dan pokok (163). Adalah sebuah bukti bahwa
keseluruhan shalom dalam Perjanjian Lama mencakup yang “profan” dan yang
“sakral.” Dan sepertinya, setiap penggunaan shalom dalam pemisahan domain yang
profan dan sakral tidak akan dimengerti dan akan dipertanyakan oleh orang-orang
Israel pada zaman Perjanjian Lama (Mauser, 1992:17).
1.2.
Kesejahteraan dalam Shalom
Dalam
Perjanjian Lama secara umum penggunaan kata shalom berarti mengacu pada
pengalaman kesejahteraan dalam arti yang luas, “ini bisa berarti kecukupan
dalam kelebihan, bisa juga kesejahteraan dalam arti aman. Atau bisa berarti
kesejahteraan dalam arti kesehatan atau pertolongan” (Westermann, 1992:21;
Mauser, 1992:14). Shalom menggambarkan “kesejahteraan secara umum, kondisi yang
memuaskan.” (Gillet, 163). Shalom dihubungkan dengan kehidupan dan digunakan
dalam banyak cara. Supaya manusia sebagai mahkluk social exis, kesejahteraan
dibutuhkan sebagai syaratnya. “kesejahteraan ini sering diterjemahkan damai,
yang dimanifestasikan dalam setiap macam kebaikan bagi manusia. Manifestasi ini
mencakup keduanya baik jasmani maupun rohani.
1.2.1.
Shalom, Kesejahteraan Jasmani dan Rohani Shalom dalam Perjanjian Lama sering
diekspresikan dalam arti kesejahteraan jasmani atau materi. Contohnya,
kesehatan fisik “tidak ada yang sehat pada dagingku oleh karena amarah-Mu,
tidak ada yang selamat pada tulangtulangku oleh karena dosaku” (Maz. 38:3).
Kondisi sehat adalah bagian dari kesejahteraan. Menjaga kesehatan di yakini sebagai
bagian dari shalom. Kemakmuran dan kelimpahan manifestasi lain dari
kesejahteraan, “saya telah membuang kedamaian; saya telah melupakan apakah
kemakmuran itu.” (Rat. 3:17; Maz. 37:11; Zak. 8:12, Ay. 5:19-26).
Kisah
tentang Ayub merupakan contoh bagaimana Tuhan memberkati akhir hidupnya dengan
kemakmuran dan kelimpahan lebih dari mulanya. Dia mati pada usia, sebuah
keadaan dari kesejahteraan (Ay. 42:12-16). Kesejahteraan juga dimanifestasikan
dalam kesuksesan berusaha. Pada masa hakim-hakim, suku Dan ketika sedang
mencari tempat untuk tinggal. Lima utusan meminta keterangan pada imam apakah
perjalanan mereka akan sukses dan dijawab secara positif (Hak. 18; 5).
Pada
kasus ini Hannah mencurahkan jiwanya dalam doa kepada Allah dan diberi jawaban
oleh Allah melalui Eli, sebagai imam (1 Sam. 1:170). Shalom sebagai
kesejahteraan mungkin dialami dalam waktu perang, sebaliknya dalam arti umum
shalom diterjemahkan “damai” atau tidak ada perang. Ini berarti “victory in,
not cessation of war.” Ini di ilustrasikan dalam kisah Gideon yang mencari
kemenangan perang dalam melawan Zebah dan Zalmunma, raja orang Midian (Hak.
8:9), dan kisah Ahab, raja Israel dan nabi Mikha yang bernubuat bahwa raja
tidak akan pulang dengan selamat dari perang melawan Arameans (1 Raj. 22:
27,28).
Kesejahteraan
sosial adalah bagian dari shalom. Sering, shalom dirasakannya merujuk pada
pengertian jasmani atau materi. Ini merupakan pengertian yang salah. Shalom
adalah konsep religious; aslinya berhubungan dengan Yahweh, yang adalah Roh (Kej.
1:2, Zak. 4:6). Manusia adalah spiritual, mempunyai roh atau nafas yang
diberikan oleh Roh Allah (Ay. 27:3; 33:4; 34:14). Manusia sebagai mahkluk
rohani membutuhkan kebutuhan rohani. Kesejahteraan rohani manusia merupakan
perhatian Allah.
Ini
mencakup kekuatan dan keamanan seseorang. Daniel, seorang nabi, mengalami visi
surgawi yang menimbulkan kengerian, tidak bisa bicara dan tanpa pertolongan,
tanpa kekuatan (Dan. 10:19). Pasal ini menggambarkan kondisi roh, jiwa dan
tubuh Daniel. Kata-kata perlindungan dan kekuatan diberikan kepada Gideon yang
ketakutan sewaktu bertemu malaikat muka bertemu muka. Allah berkata kepada dia
“Tetapi TUHAN berkata kepadanya, "Tenanglah! Jangan takut. Engkau tidak
akan mati.” (Hak. 6:23). Sementara kepada nabi Yesaya kata-kata ini diberikan:
“TUHAN, Engkau memberi damai dan sejahtera kepada orang yang teguh hatinya,
sebab ia percaya kepada-Mu.” (Yes. 26: 3).
Dari
uraian diatas “damai” dihubungkan kepada kondisi batin seseorang roh dan jiwa.
Alkitab (Perjanjian Lama) menggunakan “roh” (Ibr. Ruach, nafas), adalah nafas
manusia yang memberi hidup kepada tubuh (Kej. 7:22), benih rasio (Mal. 2:15),
ketetapan hati (Yer. 51:1), sikap secara umum (Bil. 14:24), dorongan (Yes.
2:11) dan emosi (Zak. 12:10), (Elwell 1984:1041). Roh dan jiwa dalam Perjanjian
Lama tidaklah terpisah tetapi sebagai kesatuan entitas, manusia batin.
Contohnya, jiwa (Ibr, leb) diterjemahkan hati, batin, atau yang hidup (ibr.
hayyah) dua kali untuk ruach, roh (Kej. 41:8; Kel. 35:21), dan sebagai nefes,
bagian sensitif dari ego, benih emosi, kasih, keinginan (Haz. 63:1) dan
kesukaan (Maz. 86:4), (Brown, 1971:680). Shalom adalah holistis, mencakup baik
kesejahteraan jasmani maupun rohani sebagai yang Allah berikan pada masa
sekarang dan kepenuhannya masih akan dialami pada masa yang akan datang. Dalam
hal ini, Gillet mengatakan ini diekpresikan dalam pokok pikiran keselamatan
dalam Perjanjian Lama (164).
*Direktur Eksekutif ICDS,
Direktur API Indonesia dan CCS. Mendapatkan Doctor
of Philosophy dari Fuller
Theological Seminar
Evaluasi
:
1. Secara
etimologi makna kata ‘shalom’ memiliki arti secara negatif dan positif.
Jelkaskan dari dua sini tersebut pengertian kata shalom!
2.
Apakah
cakupan arti shalom dalam kehidupan manusia? Jelaskan
3.
Tuliskan
beberapa teks Alkitab yang menyatakan tentang ‘shalom’ tersebut.
Dosen Pengasuh : Pdt. Sunggul Pasaribu,STh,M.Pd.K
Pak itu yang evaluasi dikerjakan,dan jawabannya di krim lewat email pak ??
BalasHapus